Gadis Kecil yang suka merangkai kata
Blogaholic Designs”=

Followers

Yang Nyangkut :D

SURE!

SURE!

Jumat, 24 Januari 2020

KADO KECIL


Ketika kita masih muda, masih berumur belasan, kamu sering mengajakku keluar kamar untuk nongkrong. Bersama kretek murah, kita berangkat dengan sebuah lagu. Gitar, matahari terbenam, korek api, seperti menjadi teman setia setiap perjalanan ini. meskipun tidak ada tujuan jelas, tapi motor tetap melaju menembus asap polutan kota.
Waktu itu, kamu bilang kita masih bodoh, tak tahu apa-apa. Yang perlu kita lakukan hanyalah berbahagia, menuang air orang tua, bersulang lalu teguk sampai habis. Bercerita ngalor-ngidul, tertawa sampai batuk, bahkan sampai lupa jalan pulang. Meski mata tak bisa berbohong, tapi malam tetap menemani. Di sela-sela hati ini, tersimpan harapan yang amat besar untuk masa depan. Namun ada hal-hal yang belum bisa kita capai sekarang, katamu. Dan uang adalah salah satunya.
Aku masih ingat, vespa tuamu.... lebih banyak di bengkel daripada di jalanan. Rodanya berputar pelan, seraya kamu menunjuk setiap bangunan yang kita lewati. Seakan kamu tuan rumah atas bangunan itu, kamu jelaskan itu apa, berserta semua cerita didalamnya. Aku terkekeh saja, sambil mengejekmu, sebab lebih paham bangunan daripada wanita.
Tahukah kamu, harapan dan mimpi-mimpiku mengepul ketika kita sedang memasak. Ku makan dengan lahap, berlatih untuk tetap kuat meski hidup tidak seindah itu. sesekali kita jatuh, terpeleset lantai basah, kita tidak menangis, tapi mencoba menertawainya. Ada yang perlu kita pelajari, mengenai arti syukur di hidup ini.
Dan,
Atas semua yang pernah kita lewati, ini hadiah kecil dariku.
untuk
Kita para laki-laki yang sedang hancur.
***
“Ga usah lah. Ga perlu.”
“Sisa minum juga...”
“Capek”
“Lagunya mana?”
“Yang Masak siapa?”
“Oi, pinjem karpet!”
“Kapan ya?”
“Yang kaya aja hehe”
“Ah kan kampang!”
“Sakit...”
“Udahlah”
“dah”
“Mana tangan mu???”
“Dicariin ye?”
“Kucing!”
“Kok Ga ada yah?”
“Sholaaat!!!”
“Waktu waktuuuu”
“Bodoh amat lah”
“Makan dulu sek”
“Yang penting yang sayang aku”
“Bahagia”
Sangat buram, tidak teratur, tapi apa yang kita rasakan begitu jelas. Hanya kita yang mengerti, bagaimana rasanya mengendarai motor sore-sore dipinggir pantai, air mata mengalir dan terbang bersama angin. Rasa sakit yang kita alami hilang bersama deru ombak. Semua ingatan yang harusnya kita miliki, tidak akan pernah lagi kita tunggu. Meskipun akhirnya tersisa aku, tapi aku selalu tegar dan kuat. Kalian memang curang, meninggalkan aku.
Tapi,
Untuk kalian sobat panti asuhan ku, semoga kalian bahagia dengan keluarga baru kalian.
Dan,
Ini kado kecilku untuk kalian,
akhirnya,
aku juga telah menemukan rumahku.
Keluarga baruku.
Aku sangat gembira... Apakah ini rasa yang kalian rasakan?
Oh iya,
Kini aku menetap di Yogyakarta, kalau kalian dimana?

Senin, 20 Januari 2020

TISSA



Kemarin sore langet Yogyakarta sangat mendung, ah, sepertinya tak lama lagi akan hujan deras. Bergegas aku keluar dari kantor, berjalan ke parkiran motor sambil mengacak isi tas ku mencari kunci. Namun belum sampai di parkiran, hujan mulai turun. Gerimis-gerimis lalu mulai deras. Aku berlari mencari bangunan terdekat untuk berteduh. Disanalah ku berjumpa seorang gadis kecil, imut, masih memakai seragam SD. Ia berdiri sambil menatap langit gelap yang sedang menumpahkan air.
Aku tersenyum melihatnya, Ia mengingatkanku kepada anakku yang jauh di kampung. Ku tengok kiri kanan, hm, sepertinya anak ini sendirian. Tak ada bapak atau ibu yang berdiri di dekatnya. Aku mulai berinisiatif mengajaknya ngobrol.
“Halo Dek, namanya siapa?” Tanyaku sambil jongkok, menyesuaikan tinggi badanku dengan badannya yang sangat mungil
“Tissa....” Ucapnya malu-malu.
Aku tersenyum. “Mama atau Papanya mana?” Tanyaku lagi.
Dia terlihat kebingungan dan menggaruk kepalanya.
“Tadi ga bareng Papa atau Mama ya?”
“En... tadi disuruh tunggu disini...”
Aku seketika deg-degan, takut kalau anak ini anak hilang.
“Biasanya Tissa memang disuruh tunggu disini?
Ia menatapku sedih, “Engga...”
“Trus??” Aku tentu saja sangat khawatir.
“Papa bilang, mau pergi bentar... disuruh tunggu disini...”
aku sangat khawatir. Karenanya aku memutuskan untuk menemani anak ini sampai Papanya datang. Aku mencoba mengajaknya ngobrol, bermain sulap, ataupun meminjamkan HP ku selagi menunggu Papanya. Berselang satu jam setelah hujan benar-benar reda, Papanya tak kunjung datang. Aku mulai cemas, sebab haripun mulai gelap.
“Tissa, Tisaa tau tidak nomor HP Papa atau Mama?”
Tissa hanya mengeleng.
“Tante anter pulang aja gimana? Hapal kan rumahnya?”
Tissa terdiam. Lalu beberapa detik kemudian menggelengkan kepalanya.
Aku melihat Tissa mulai pucat, apa belum makan?
“Tissa udah makan belum??”
“Belum...”
Aku kaget. Aku langsung lari ke minimarket dalam kantor yang kebetulan memang tutup jam 10 malam. Ku beli beberapa roti dan air minum. Namun ketika kembali, aku tidak melihat Tissa lagi. Apa Papanya sudah datang menjemput? Atau bagaimana?
Perasaanku jadi tidak karuan. Harusnya tadi ku ajak saja Tisaa ke minimarket. Tapi, aku berdoa semoga saja Tissa benar-benar sudah bersama Papanya.
Aku mencoba melupakan Tissa sejenak, fokus mencari kunci motor lagi, dan pulang. Tapi sebelum aku benar-benar menyalakan mesin motorku, aku memutuskan untuk mencari Tissa di sekitar gedung itu.
Hari mulai gelap, orang-orang juga sudah pulang ke rumahnya masing-masing, sedangkan aku beserta senter HP ku masih sibuk mencari Tissa. Aku memutari gedung itu beberapa kali, pun juga telah ku tanyakan pada satpam terdekat. Tapi tidak ada satu informasi pun mengenai Tissa. Aku mulai takut, jujur, perasaanku tidak enak.
Dengan membaca basmalah, ku mantapkan diriku untuk pulang saja. Mendoakan Tissa, semoga tidak terjadi apa-apa terhadapnya. Di perjalanan pulang, perasaanku gundah. Aku tidak tenang. Namun ketika aku berhenti di perempatan Sudirman, aku melihat anak kecil berjalan sendirian di trotoar. Sontak aku langsung menepi, sebab anak itu sangat mirip Tissa.
“Tissa!!” Teriakku.
Anak itu menoleh, matanya berair, ia sedang menangis.
Aku langsung memeluknya. “Kok ga tunggu tante???”
Tisaa masih menangis.
“Tissa... mau kemana? Tante antar ya??”
“aa.. a..ku..”
Dengan perasaan yang campur aduk, jatung yang berdegub dengan kencang, aku memegang pundak Tissa dan menatapnya dalam-dalam, menunggu kalimat darinya.
“Aku udah mati..............” Tissa menangis kencang.
Kepalaku tiba-tiba pusing. Dan aku langsung pingsan.
***
Aku terbangun, dan inilah kondisiku sekarang. Berada di kantor polisi. Aku mencari tas dan barang berhargaku yang lain. Tapi tidak ada. Kata pak polisi dan saksi, setelah aku jatuh pingsan, seorang lelaki mendatangiku dan mengambil barang-barangku.
Aku menceritakan semua kejadian yang aku alami kemarin. Dan anak kecil bernama Tissa itu, tidak mati, benar-benar hidup. Katanya, ini modus baru pencurian. seharusnya ketika aku mengajak anak itu pulang bareng, anak itu mengiyakan ajakanku dan menunjukkan ke jalanan sepi, sesuai ajaran Bapaknya. Dan di jalan sepi itu lah aku harusnya di rampok. Namun, anak itu menjadi iba ketika melihat foto anakku di handphoneku, sewaktu aku meminjamkannya untuk bermain game. Semuanya berakhir gagal, harusnya. Namun, entah sial atau apa, aku melihatnya di jalanan.
Polisi mengatakan, anak itu mengaku mati agar aku langsung kabur, lari, namun responku ternyata berbeda.
***
aku keluar dari kantor polisi, tidak tahu harus bagaimana. Hanya menunggu proses hukumnya saja. Tissa. Tissa..... Semoga kamu baik-baik saja.

Sabtu, 18 Januari 2020

November Series #4


Menyambut Kepastian

“Jef, gue harus gimana?”
“Gue kan udah bilang, lu harus ngasih kepastian ke dia, Har.”
“Tapi, gue ga punya nyali hubungin dia lagi.”
“Ga usah dihubungin.”
“Trus gimana cara ngasih kepastiannya kalau ga hubungin dia?”
“Sini gue kasih tau,”
***
Pertama kali aku tahu nama dia adalah ‘Sunshine’, aku langsung teringat Hujan. Tanganku kaku dalam jabatan yang berlangsung seperkian detik. Dia tersenyum, sangat ramah, sangat anggun, seakan mengajak aku untuk bergelut dan mencoba merobohkan dinding yang telah lama ku pertahankan. Sebenarnya, aku tidak takut, kalaupun dia sampai tersenyum secantik itu, aku tahu aku tidak akan goyah. Sebab aku telah menemui banyak perempuan, tapi tetap saja aku tidak bisa melupakan Hujan. Tapi, sampai kapan, sampai kapan?
Februari 2018
“Jef, gue harus gimana?” Tanyaku pada Jeffry, teman seperjuangan saat kuliah sekaligus kini menjadi teman kantorku.
Aku bercerita mengenai Hujan, beberapa hari yang lalu aku diberi informasi oleh Firda kalau saat ini Hujan sedang dekat dengan atasannya yang bernama... Bintang? Katanya, Hujan masih belum bisa membuka hatinya untuk Bintang sebab masih teringat oleh aku. Astaga, ternyata... kita sama....
“Gue kan udah bilang, lu harus ngasih kepastian ke dia, Har. Kasian dia, lu juga ga bakal balik.”
“Tapi, gue ga punya nyali hubungin dia lagi.”
“Ga usah dihubungin.”
“Trus gimana cara ngasih kepastiannya kalau ga hubungin dia?”
“Sini gue kasih tau,” Jefrry menatapku tajam.  “Lu ga harus blak-blakan ngomong ke dia kalau sebenarnya lu campakkin dia selama ini karena nyokap dia nelpon lu dan nyuruh lu ninggalin dia. Lu ga harus ngomong kayak gitu karena sama aja lu bakal ngerusak hubungan ibu dan anak. “
Jeffry menghela napas. “Lu kasih dia kepastian dengan cara lu move on. Buka hati untuk cewek lain, nikahin cewek itu. Gue yakin dia mengerti, kalau udah saatnya dia juga harus bisa buka hati untuk cowok lain.”
Mataku berkaca-kaca. Ingin ku tepis apa yang dikatakan oleh Jeffry, namun itu adalah hal terpahit yang benar adanya. Hujan tak pernah tahu alasan mengapa sewaktu kita SMA majalah sekolah tiba-tiba ingin mengangkat rubrik mengenai bulu tangkis. Dan hujan pun tak akan pernah tahu alasan mengapa aku tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Aku yang pertama kali menyukai Hujan dan membuat kesengajaan agar kita bertemu. Aku pula yang pertama kali menangisi hubungan yang tak direstui dan sengaja menghilang agar kita tak bertemu.
“Sunshine, right?” Jeffry mengucapkannya dengan sangat pelan.
Aku kaget. Kenapa tiba-tiba dia? Tapi aku tidak tahu, entahlah, ah,
Aku terdiam.
***
Hujan, aku menenggelamkan diriku pada kesibukan-kesibukan yang membuatku lelah. Berharap pada akhirnya dapat melupakan apa-apa yang berusaha ku hapuskan. Setelah mendapat telepon itu, aku tidak berhenti meyakinkan diriku bahwa aku akan mendapatkan yang lebih baik. Kamupun begitu. Sangat berat untuk ku katakan padamu. Aku berharap waktu membuat lupa dan mati rasa. Tapi ternyata waktu membawa kita pada tanda tanya besar, dan hanya membuat kita semakin jatuh. Semakin membuat aku berharap, apakah ada celah untuk bisa kembali? Apakah bisa?
Hujan, saat ayahmu meninggal, aku sangat ingin kembali ke Jogja, memelukmu hingga kamu merasa tenang. Tapi bagaimana? Hujan, saat kamu meminta berpisah, percayalah aku ingin mengatakan jangan, tapi bagaimana?
***
Agustus 2018
“Yakin ga undang Rainy?”
Aku membeku. Beberapa hari yang lalu ia menelponku... dan... sampai sekarang aku tidak pernah bertanya balik, kenapa?
“A... apakah bisa?” Aku menatap  Shunshine.
“Bisa dong, undang aja.” Kamu tersenyum.
“Tapi, dia tidak mungkin datang.”
“Pasti Datang! Aku mau lihat dia, dan aku mau kamu melepas segala rindumu. Jadi ga ada lagi yang tersisa. Kita bisa memulai cerita kita dengan lembaran baru.”
Aku tersenyum. Shunshine, kamu benar.
***
September 2018
“Kak Firda, apa aku harus datang?” Rainy terlihat sangat pucat, matanya sembab akibat undangan yang sedang ia pegang adalah undangan pernikahan Hari.
“Datang aja Rain, kita datang bareng ya?”
Rainy tersenyum, meski sedetik kemudian air matanya jatuh lagi.
***
Hujan, siapa yang bisa menebak masalah hati? tapi Hujan, membuka kembali hati adalah pilihan.
Hujan, aku ingin terlihat sedemikian jahatnya agar kamu mudah membenci dan memaki. Sehingga, kamu beruntung karena terbebas dari aku.
...
Hujan, kamu sangat kuat.
Hujan, maaf yah.
ah, tidak tahu lagi harus mengatakan apa.
kamu tahu kan kalau aku tidak pernah berkata banyak mengenai hati?
Hujan, mari kita sambut kepastian ini.
Terima kasih atas doa-doa mu.
.
Akhirnya, kita percaya akan bahagia dengan hidup kita masing-masing.
Rainy, semoga Bintang menyinari hari-harimu.

***
Nadin Amizah - Sorai

Kamis, 16 Januari 2020

November Series #3


Crying Over You

[Ep. 1 dan Ep. 2 dibaca dulu yeee klo belom]
***
Rainy. Iya, aku tahu namaku adalah Hujan. Awalnya aku senang, sebab yakin kamu akan selalu ingat namaku ketika hujan turun. Sangat gampang tersimpan dikepalamu saat bulan November tiba. Tapi ternyata tidak semenyenangkan itu.
Ada banyak hal yang ingin ku ceritakan ketika kamu tak lagi bersamaku. Dan aku tahu, kamu pasti tidak lupa tentang aku. Karena... namaku segampang itu. Tidak salah, jika aku pikir, kamulah yang mengemas drama ini. pura-pura menghilang termakan waktu, padahal kamu sedang berpikir apakah akan kembali atau pergi. Andai semudah itu untuk mengabaikan, akan ku abaikan dirimu sejak hari terakhir kita.
Sudah lama sekali dan aku tetap mencoba mengabaikan. Tapi sia-sia. Namamu, mau tidak mau harus ku sebut. Hari. Hari ini hari apa? Besok Hari selasa makan bareng yuk? Oh iya, Hari kamis ada deadline tugas. Jangan lupa hari ini libur. Hari minggu nanti mau kemana?
Hari. Hari. Hari!
***
Januari 2018
“Rainy ya?”
Aku mengangkat dagu, memalingkan wajah dari layar laptopku. Ku dapati seorang lelaki yang mungkin... jauh lebih tua daripada aku(?). Ia menatapku sambil tersenyum.
“Iya?” Jawabku sekaligus membalas senyumnya.
“Ah, Aku Bintang. Salam kenal.” Ia mengulurkan tangannya, aku sontak berdiri dan menerima uluran tangannya.
“Aku yang akan bimbing kamu selama magang disini, jadi mohon kerjasamanya yah?”
Aku tersenyum lega.
Tapi tidak pernah ku duga, sejak hari itu ada sesuatu yang berubah.
Ada yang berubah.
Ada...
***
Jika suatu hari aku telah sampai pada hari aku harus memilih, Mengatakan “Iya” pada sebuah lamaran ataupun sebaliknya, apakah aku harus mempertimbangkan perasaanku yang belum benar-benar pulih? Ataukah ku abaikan saja dan berani membuka lembar baru bersama calon pendamping hidup yang sebenarnya?
Sebab, ada yang mengatakan, cinta ya cinta, pernikahan ya pernikahan. Hanya orang beruntung yang dapat menikah dengan orang yang ia cintai. Um.. begitukah?
Tapi, jika suatu hari aku dititik harus memilih, menerima mu kembali atau menyelesaikannya hingga tidak ada yang tersisa, apakah aku harus mempertimbangkan suka dan duka yang pernah kita lewati? Ataukah ku abaikan saja dan menganggapmu orang baru?
Sebab ada yang mengatakan, masa lalu biarlah berlalu, yang penting bagaimana kita sekarang mempersiapkan masa depan.
Apa? Jadi aku harus memilih apa jika waktunya telah tiba?
***
Agustus 2018
“Rainy, pulang nanti makan bareng ya?” Ajak Mas Bintang.
Aku tersenyum tipis, “Ah, aku udah janji sama Kak Firda mau makan bareng, Mas.”
Sebenarnya, ada alasan lain aku menolak ajakan Mas Bintang. Tadi pagi Kak Firda berbisik ketika absen kantor, Ada berita penting tentang.. Hari... Tentu saja karena itu aku tidak fokus dan ingin cepat-cepat pulang untuk makan bareng Kak Firda.
Firda, teman kuliah Hari yang ternyata satu tempat magang denganku kini.
Secepat kilat aku langsung menjemput Kak Firda di ruangannya, menggandengnya, tanpa basa basi mendarat di rumah makan tempat kami biasa makan. Mata Kak Firda membesar, dan....
ia berusaha menceritakannya dengan kata-kata yang tepat.
tapi percuma.  kata demi katanya berhasil membuatku sangat sakit.
*
Hari ini... disaat hujan turun.... Kak Firda memberitahukan kabarmu. Yang tidak ku duga.
Kamu... akan menikah. Benarkah?
Padahal, aku yang selama ini terus bertanya-tanya sebelum tidur. Apakah aku kejam jika akhirnya menikah padahal masalah “Kita” belum selesai? Aku yang takut jika sewaktu-waktu Mas Bintang ingin melamarku. Aku yang sangat takut ketika kamu kembali disaat aku sudah menjadi milik orang lain. Aku yang takut ketika ternyata selama ini kamu menyesal dan ingin memulai kembali karena tahu hanya akulah yang membuatmu nyaman. Tapi.. tapi... aku seperti orang bodoh!
LEBIH BODOH LAGI, dengan kebodohan yang bertubi-tubi, aku menahan egoku dan memilih menelponmu setelah sekian tahun tak berani bertanya kabarmu. Aku ingin menanyakan apakah itu benar? Oh, segampang itukah?
Hari, apa kamu benar-benar telah melabuhkan hatimu pada seseorang yang dia itu bukan aku? Pada akhirnya kamu telah mendapatkan perempuan lain untuk mendengarkan semua ceritamu sampai akhir hayat mu?
Aku menangis tak karuan. Telpon yang belum 4 detik di telingaku, terlepas dan jatuh kelantai. Entah masih tersambung atau tidak, tapi aku tetap menangis. Kak Firda mencoba menenangkan aku. tapi... ini sangat berat Mas.... sangat berat.
Apakah Benar? Sekali Lagi, Apakah Benar?
***
“Mas Bintang, tentang pertanyaan mas hari itu....” Ah tuh kan harus nyebut kata Hari “Mas Bisa datang ke rumahku saja.”
Mata Mas Bintang berbinar.
Aku tersenyum. Tersenyum kecil.
Kamu pengecut Hari. sangat. Bahkan ketika kamu sudah bisa berpaling, kamu masih tak berani menghadapiku.
Ah,
Atau aku saja yang terlalu berharap. Terjebak terlalu lama. Bahkan ketika kamu sudah lupa, disini aku masing menangisinya. Ketika kamu sudah menerima keadaan, disini aku masih mempertanyakannya.
Hari, aku memang hujan sebenarnya, yang berusaha menghujam hari-harimu. Untungnya, kamu... sudah punya payung? dan kini, aku berusaha mencari yang lain juga?
Aku menatap mata Mas Bintang, tapi lama kelamaan mataku memanas. Hingga akhirnya aku tidak bisa menahan. Air mataku jatuh di depan Mas Bintang, untuk seseorang yang bernama Hari.
***
Cerita kita.... penuh dengan kesalah-pahaman. Dan kita.... tidak berusaha memperbaikinya. Semoga lekas kamu bahagia, dan jangan berhenti bahagia. Aku dengar, namanya Sunshine. Dari namanya aku percaya, dia bisa membahagiakanmu.
Jangan lupa, doakan aku balik ya?
***
Honne – Crying Over You