Lelaki Tua
Itu
Hari ini hujan menemaniku. Malam
yang sunyi membuat mataku dengan lincah memerhatikan persimpangan jalan, melihat
seorang lelaki. Diseberang sana dibawah payung merah dengan sepasang kaki
lainnya. Memeluk erat lengan lelaki itu, seakan kedinginan.
Usianya jauh lebih muda dari pada
usia lelaki itu. Kepalanya pun disandarkan di
pundak lelaki itu. Sesekali samar-samar ku lihat matanya melihatku. Ia hanya
tersenyum tipis, layaknya senyuman perempuan seperti biasanya.
Tak lama, lelaki tua itu megeluarkan sebuah
kretek. Lalu ujungnya dibakar dan dihisap sampai mengeluarkan asap yang
mengepul setelah dihembuskan. Gadis kecil itu lalu mengipas daerah wajahnya dengan
tangannya, seakan menghindari asap rokok itu. Tapi si lelaki tetap melanjutkan
pekerjaannya.
Sampai sebuah taksi menghampiri
mereka, dengan cepat si gadis lalu masuk ke dalam taksi dan melambaikan
tangannya kearah lelaki itu.
***
3 bulan telah berlalu, tapi aku
masih memikirkan lelaki tua itu. Setelah kepergian gadis manisnya, ia berlari
sekencang-kencangnya. Dengan sengaja ia melompat ke tengah jalanan, membuat
tubuhnya dipenuhi darah, terbarak oleh dua mobil sekaligus.
Aku terkejut. Semua orang yang melihatnya
berlari kearahnya. Akupun juga begitu. “Ayo, cepat bawa ke rumah sakit!” “Mobil
mana mobil!” “telefon ambulance!” semua orang saling berteriak, mencoba
menyelamatkan lelaki tua itu.
Tapi tidak berhasil, sayang.
Sampai sekarang, gadis manis itu
masih tetap berdiri ditempat yang sama. Saat aku telah turun dari angkutan umum
dan menunggu angkutan umum lainnya yang memiliki jalur berbeda, aku masih bisa
melihatnya. Kadang pula, jika telah ada taksi yang menghampirinya, ia segera
masuk kedalam dan pergi.
Sekarang, aku melihatnya lagi. Ia
tampak menunggu seseorang. Tapi siapa? Lelaki tua yang telah meninggal itu? Mungkin
begitu. Perutnya yang mulai membesar itu bukti dari cinta mereka. Iya, ia
hamil.
Aku lalu memberanikan diri
berdiri disampingnya. Ia hanya menatapku kosong, tidak keberatan dengan
kehadiranku.
“Mba, tunggu siapa?” Tanyaku.
Ia tak lekas menjawab sampai aku berkata
lagi. “Setiap hari aku lihat Mba menunggu disini.”
Ia memalingkan wajahnya ke
tatapanku. Mulutnya sedikit terbuka, sampai akhirnya ia berucap. “Suamiku”
“Suami? Lelaki tua itu?”
“Lelaki tua?” Katanya dengan air
mata yang mulai mengalir dipipinya.
“Maaf, maaf kalau Mba
tersinggung.”
“Itu Ayahku. Yang kau lihat di
malam itukan?” katanya pelan.
Aku mengangguk. Ternyata lelaki
itu adalah Ayahnya. Aku belum puas, aku masih penasaran. “Lalu suami Mba mana?”
“Ia akan datang.”
Aku hanya mengangguk.
“Ayahku hilang sejak kejadian di
malam itu. Sekarang aku selalu menunggu suamiku menjemputku di tempat ini. Untuk
menemaniku mencari Ayah. Karena, aku ingin Ayah tahu bahwa ia akan mempunyai
cucu.”
Aku tercengang mendengar
ucapannya. Apa dia tidak tahu kalau ayahnya bunuh diri di malam itu juga?
“Setiap hari ia meminta maaf
padaku, katanya ia tidak bisa membiayaiku, karena itulah aku dinikahkan di usia
dini. Agar suamiku dapat membiayai uang sekolah dan hidupku.” “Tapi aku tidak
apa. Aku terima kenyataan ini. Namun sekarang Ayah menghilang.”
“Tapi Ayahmu sudah mening—“
“Suamiku sudah datang. Maaf aku
harus pergi.”
Ia memotong ucapanku ketika
sebuah taksi menghampirinya. Taksi yang sama dengan taksi yang selalu ia naiki.
Kukira kan ada seseorang didalam sana, tetapi tidak ada. Supir taksi lalu
tersenyum ramah padaku. Ternyata itulah suaminya.
Sekarang aku mengerti. Kasihan gadis
itu. Ia tak tahu bahwa ayahnya telah meninggal. Aku lalu melangkah pergi dari
tempat itu, tiba-tiba seseorang dari belakang menepuk pundakku.
Dengan cepat aku berbalik. Ternyata
supir taksi itu. “Aku tahu kamu ada di malam itu. Ku mohon, jangan bilang ke
dia bahwa ayahnya telah meninggal. Ia sangat mencintai ayahnya.”
“Tapi kamu harus mengatakannya! Kasihan
dia.”
“Iya, aku janji. Aku akan mencari
waktu yang tepat untuk memberitahu dia. Aku hanya tidak ingin dia stress.”
Aku hanya mengangguk pelan. Keesokan
harinya aku tidak melihat gadis itu lagi. Bahkan lama setelah itu aku tidak pernah melihatnya
lagi.