Gadis Kecil yang suka merangkai kata
Blogaholic Designs”=

Followers

Yang Nyangkut :D

SURE!

SURE!

Jumat, 15 September 2017

Yang Terlewati



Aku rindu pada masa anak-anak dan merasa paling bahagia di dunia.

 Aku rindu ketika bermain hujan, kalau hujannya tidak deras, ayahku akan membuat hujan buatan di balkon lantai dua rumah.

Aku rindu bermain kerumah teman masa kecil, sampai di cari Ibu untuk pulang karena sudah magrib.

Aku rindu mengeluh atas PR matematika yang sulit. Mengaduh pada kakak dan dibantuk untuk mengerjakan.

Aku rindu menonton film di Tv rumah, lalu merengek minta ditemani oleh ayah.

Aku rindu, berlari ke kamar kecil di rumah karena kebelet pipis

Aku rindu makan masakan ibu, meskipun selalu sama setiap hari

Aku rindu teriakan teman masa kecil, “Ciiciiiiii” “ciciiiii main yoooooo”

Aku rindu naik sepeda keliling kompleks, pergi mengaji setiap sore sampai isya. Pulang-pulang langsung nonton

Aku rindu kerumah nenek

Aku rindu digendong

aku rindu... semuanya.

Aku begitu rindu.
Terlalu banyak.
Sampai tumpah lewat air mata.

Selasa, 08 Agustus 2017

Rindu Tak Terucap





Ada ragu diantara sendunya malam, disela-sela dedaunan yang bergerak mengikuti arah sang angin. Ada bisik yang terdengar samar-samar, diselipan doa yang mengalir megikuti arus sang sungai. Terlihat setiap atap meratapi nasib, mengadu kepada sang Bulan, sang penguasa malam atas bintang-bintang. Senyuman yang tertoreh, seakan memaksa untuk berkata.

“Kau akan pergi lagi? kemana kau akan pergi?” Surina tersenyum, lalu bertanya namun tidak berani menatap Danang, bibirnya kaku namun tetap harus bertanya.

Gelap yang menyelimuti Danang, membuat Danang bergetar untuk menjawab.

“Apakah aku harus ikut, atau aku harus tetap sembunyi?” Surina kembali bersua.

Mata Surina tak bisa bohong. Ada kekecewaan besar yang menggenang disana, mungkin akan tumpah sebentar lagi.

“Surina, aku sudah bilang, kau tidak akan pernah ikut kemanapun aku pergi.” Danang mencoba untuk  tenang.

Genangan itu tumpah seketika, Surina membalikkan badannya, membelakangi Danang yang ketika itu duduk di kursi depan teras rumahnya. Air matanya jatuh tidak berhenti.

Ada pengkhianatan diantara debu-debu yang terbang diantara mereka. Bau kesakit-hatian tercium oleh keduanya. Namun Danang hanya bisa pasrah, menikmati setiap detik suara tangisan Surina, yang bahkan mengalahkan kerasnya suara jeritan penyesalan Danang.

“Surina, sudah seharusnya kau ikhlaskan.” Ucap Danang terbata-bata.
“Surina, kita ini sudah berbeda.” Lanjut Danang.
“Surina, lepaskanlah aku. Tidak mungkin bagiku untuk datang setiap malam di rumahmu. Aku takut.”

Surina membalikkan badannya. Menatap kursi kosong didepannya, air matanya masih mengalir. Tangannya mengepal dengan kuat. Angin malam seketika membuat semua sunyi. Surina terjatuh diatas ubin tua milik rumahnya.

“Kenapa kau selalu pergi tanpa pamit. Padahal aku ingin katakan, kalau aku merindukanmu.” Surina berusaha mengucapkannya dengan jelas, namun terkalahkan oleh rasa sakit di dadanya.

Bertubi-tubi ia kehilangan, berkali-kali ia mengkhayal. Suaminya, Danang, masih hidup di dunia.

Rabu, 08 Maret 2017

Seharusnya



Seharusnya.
Seandainya.
Semestinya.
***
Pagi itu aku melihatmu membawa setumpuk kertas dari ruangan dosen. Akhirnya, aku mendapatkanmu setelah berputar-putar dalam gedung. Wajahmu tampak kusut, bajumu berantakan dan langkahmu tidak beraturan. Aku diam, awalnya ingin menyapamu, ingin bertanya kabar, lalu menjelaskan semua yang tejadi, tapi tiba-tiba takut. Perlahan, aku berjalan di belakangmu. Tanpa kamu sadari, kamu terus berjalan sampai menaiki tangga. Namun langkahmu tiba-tiba tidak seimbang, sedetik kemudian kamu jatuh dan kertas berterbangan di udara.
“SIAL!!!” katamu.
Langkahku seketika terhenti tepat di kaki tangga, aku kaget. Matamu lalu tertuju padaku, kaget, tapi tanpa pikir panjang kamu memalingkannya dan memungut kertas-kertas itu di lantai. Beberapa lembar jatuh sampai kakiku. Matamu menatap kertas di kakiku, lalu mengarah melihat wajahku.
“Kemana saja?”
Aku menelan ludah.  Aku sudah menduga kalau kamu akan bertanya seperti ini.
“Kalau tidak bisa jawab, berikan saja kertas itu.” sambungnya.
Aku diam. Aku melihatnya lekat-lekat, oh sungguh aku rindu dengan tatapan itu. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana, jadi aku menunduk, mengambil kertas di kakiku. Tanganku gemetar, rinduku benar-benar menguras tenagaku. Aku memberikannya dengan sisa tenaga yang aku miliki. Tanganku bergantungan di udara, kamu hanya melihat kertas itu, tanpa berniat mengambilnya.
“Benar tidak bisa jawab?” Tanyamu lagi.
Aku merasa mataku mulai panas, aku menahan untuk tidak menangis. Aku tidak tahu kenapa aku hanya bisa diam. Padahal aku sudah menyusun kalimat sejak tadi malam di kamarku. Tapi rasanya lidahku keluh saat berhadapan denganmu.
Lima detik berlalu, kamu mengambil kertas itu.
“Kalau mau pergi, tidak usah kembali.” Katamu tanpa sedikitpun melihatku, melanjutkan menaiki tangga. Langkahmu terdengar menakutkan. Aku tahu dari pancaran wajahmu, kamu begitu kecewa. Seiring langkahmu yang sudah tidak terdengar, air mataku keluar.
Aku mengurungkan niat untuk mengikutimu, mencari sebuah kursi yang bisa di duduki. Dadaku terasa sesak. Kenapa aku tidak bisa ngomong? Satu kata pun tidak bisa? Kenapa aku hanya diam saja?
Seharusnya aku tidak begitu. Seharusnya aku ngomong yang sebenarnya terjadi dan apa yang aku rasakan, yaitu rindu. Seandainya dapat diulang kembali, aku pasti akan mengatakan apa yang kurasa. Ah, semestinya tidak seperti ini...
Tapi, tahukah kamu, semalam aku terus memikirkan kamu. Bukan ini yang aku mau. Kemarin aku benar-benar sibuk mengurus skripsiku, aku selalu ingin mengabarimu. Tapi jaringan di desa yang aku tempati tidak memadai. Sebulan itu aku terus memikirkanmu. Aku mengirim surat ke rumahmu, tapi tidak bisa karena tidak ada kapal yang berangkat.
Seharusnya aku bilang.
Aku ingin bilang, kalau aku tidak pernah pergi.
Terlambatkah aku untuk meminta maaf? Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu. aku hanya tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan.
Aku menatap tangga yang tadi, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. kamu turun dengan wajah yang sulit aku artikan. Air mataku berlomba-lomba untuk keluar. Mengalir begitu cepat sampai jatuh di rok yang aku kenakan.
Kamu melewatiku begitu saja. Dadaku begitu sesak. Aku menangis. Tapi tiba-tiba aku merasakan satu dekapan yang begitu aku kenal. Aku membuka mata. Kamu sudah membalut tubuhku dengan tubuhmu.
“Waktu tidak bisa diulang, aku tidak ingin menyesal karena melepas kamu.”
Kalimatmu seakan membiusku.
“Aku tidak pernah pergi.” Jawabku lirih.