Gadis Kecil yang suka merangkai kata
Blogaholic Designs”=

Followers

Yang Nyangkut :D

SURE!

SURE!

Rabu, 23 Desember 2015

Sekarang Sedang Hujan



Aku takut hujan. Aku takut dengan kilat lalu diikuti suara gemuruh guntur. Aku juga takut dengan suaranya karena air hujan terlalu deras jatuh diatap rumah.  Aku takut hujan. Aku takut dengan semua kenangan yang dibawa hujan, seakan-akan kerinduanku pada suatu hal kembali muncul setelah sekian lama aku mencoba melupakanya. Aku juga takut dengan semua air mata yang jatuh di pipiku ketika hujan.
Dulunya aku pernah betah melihat hujan dari jendela kamarku. Menatap setiap tetes-tetes hujan membasahi kaca. Selain itu, aku bisa melihat dia keluar dari rumahnya untuk mengangkat jemuran dengan tergesa-gesa. Lalu aku akan berteriak “Hey!” kepadanya. Dia pasti akan menoleh ke atas karena kamarku dilantai dua, tersenyum, lalu masuk ke dalam rumah dan segera mengirimiku pesan. “Sudah siap Mrs. Rainy?”
Tapi itu dulu, sekarang aku mungkin tidak akan mau melihat hujan lagi atau meneriakinya. Iya, aku takut dan sekarang sedang..... hujan.
Aku duduk diatas ranjang dengan memeluk lututku erat. Aku hanya merasakan suhunya begitu dingin. Seperti yang ku katakan tadi, setiap hujan turun, memori ingatanku seperti mundur ke belakang untuk memutar suatu kejadian yang sangat amat membuatku remuk.
Setiap hujan kami pasti akan berkomunikasi. Seperti sudah tradisi, dia yang akan lari keluar rumah untuk mengambil jemuran yang seharusnya itu tugas kakak perempuannya atau perempuan siapapun dirumahnya. Tanpa pernah terlewati, aku pasti akan berteriak memanggilnya dari jendela kamarku atau dia yang pertama mendongak memastikan aku ada atau tidak.
Hanya hujan yang memberanikan dia mengirimi ku pesan meskipun di dunia nyata kami adalah teman yang baik. Hanya hujan yang membuat kami pergi berdua. Hanya hujan yang dapat membuatku melihatnya sedekat mungkin. Hanya hujan yang mampu membuat hatiku melayang-layang.
Sudah siap Mrs. Rainy?
Aku yakin aku yang menang!
No no no, Tuhan selalu berpihak pada Arjuna!
Baiklah, mari kita buktikan!
Karena kemarin kamu yang menebak duluan, sekarang giliranku untuk menebak.
Baiklah.
Hujan akan berhenti lebih dari pukul enam sore.
Hujan akan berhenti sebelum pukul enam sore.
Kamu tidak akan menang Mrs. Rainy! Sekarang sudah jam lima dan hujannya sangat deras
Kalau aku menang, kamu harus traktir aku es campur depan kompleks! Gimana?
Es campur doang? Ga mau ah. Aku kan cowo gentle, masa es campur doang. Aku traktir kamu makan malam di cafe Bintang kalau kamu menang. Tapi kalau kamu kalah, kamu traktir aku makan siomay aja, gimana?
Oke!
Itulah kebiasaan kami. Setiap hujan kami selalu main tebak-tebakan, jam berapa hujan itu akan reda dan setelah reda, kami akan menepati perjanjian. Pergi makankah, pergi nonton kah, pergi main ice skating kah, atau apapun itu.
Hanya itu cara kami. Kami terlalu naif untuk mengakui perasaan masing-masing...
Sampai jam enam lewat sepuluh menit, hujan belum juga reda. Saat itu aku tahu kali ini Arjuna yang menang dan aku harus traktir dia siomay langganan kami di perempatan jalan kota.
Aku sudah sampai di Siomay andalan nih. Aku tunggu kamu yah.
Sip.

Malam itu benar-benar dingin dan gelap karena hujan baru reda. Karena kami tidak pernah pergi bersama-sama meskipun rumah kami saling berhadapan dan aku juga tidak tahu naik kendaraan, aku menelpon ojek (Mas Dimar), tukang ojekku sewaktu SMA. Tapi aku tidak tahu waktu itu mengapa Mas Dimar lama sekali. Sekitar tiga puluh menit kemudian Mas Dimar baru datang.
“Mas kok lama banget?”
“Maaf Mbak saya abis nganterin anak pulang dari kerja kelompok di pakem.”
“Yaudah Mas cepetan yah ke Siomay yang di perempatan kota itu. Tau kan?” jawabku sedikit tak percaya.
“Iya Mba.”
Dengan hati resah aku duduk di jok motor Mas Dimar. Aku takut Arjuna marah denganku. Tapi Mas Dimar mengendarai motor dengan laju yang sangat cepat, sampai aku lupa jalanan masih licin dan lampu lalu lintas tidak menyala. Mas Dimar mencoba menyelip diantara dua mobil namun  yang terjadi adalah Mas Dimar kehilangan keseimbangan.
“MAAAAAASSSSS!!!!!!!”
Kedengarannya hujan sudah reda, membuatku tersadar dari ingatan masa lalu. Yah, terakhir yang aku ingat dari hari itu adalah aku teriak. Aku tidak tahu siapa yang menolongku, bagaimana aku bisa sampai dirumah sakit, bagaimana bisa orang tuaku tahu, atau bagaimana keadaan Arjuna.
Ketika aku terbangun dari ranjang yang begitu empuk, tidak ada yang berbeda. Tetap gelap, seperti  saat aku tertidur. Ibu lalu membisikkan ke telingaku bahwa Mas Dimar meninggal ditempat.
Aku teriak sejadi-jadinya waktu itu. Bukan hanya karena mas Dimar meninggal, tapi karena aku........ menjadi buta.
Aku buta!
Sekarang, aku tidak bisa melihat hujan lagi, melihat keluar jendela, melihat layar handphone, melihat jam dinding di kamar, atau bahkan melihat apakah Arjuna sedang ada diteras rumahnya atau tidak.
Maka dari itu, sekarang aku takut hujan. Bukan benci. Aku takut dengan hujan, karena dengan keadaan seperti ini, aku sadar kalau suara hujan begitu menakutkan. Aku takut hujan! Aku takut, Arjuna akan berlari keluar rumah mengambil jemuran seperti biasa, mendongak keatas dan mendapati aku tidak ada disana. Aku takut Arjuna mengirimiku pesan dan aku tidak pernah membacanya.
Aku takut hujan, karena hujan membawa kenangan yang selalu aku coba untuk melupakannya. Aku takut hujan....... karena hujan selalu berhasil membuatku menangis.
Sekarang aku kedinginan. Aku hanya bisa mendengar dan merasakan hujan. Aku tidak bisa melihat Arjuna lagi, dan aku, sebenarnya tidak tahu lagi dengan kabarnya sejak dua tahun yang lalu setelah kejadian itu.

Sabtu, 24 Oktober 2015

Apakah Wajar?

Sinar matahari menyilaukan pandanganku. Hari memang sudah sore tapi Aku masih berdiri disini, menatap sesuatu yang mungkin tak akan balik melihatku.  Mataku menyipit, samar-samar aku melihatnya berdiri dari kursi dan tangannya menggandeng seorang wanita bertubuh langsing nan cantik. Dia memang lebih cantik daripada aku, tapi, apakah kecantikan itu pantas menggoyahkan sebuah perjanjian?
Aku mengikutinya sampai ke pelataran parkir. Rambut wanita itu tergerai menutupi sebagian wajahnya membuat lelaki yang menggandengnya seketika merapikan rambut wanita itu hingga seluruh wajah cantiknya terlihat. Wanita itu tersenyum manis lalu jinjit sedikit mengecup pipi lelalki itu.  Aku menunduk menatapi sepatu kucelku, model tahun 2000-an yang sangat ketinggalan jaman. Berbeda dengan dia, yang serba modis dengan gayanya yang sangat menawan.
Lelaki itu tersenyum bahagia lalu mempersilahkan wanitanya masuk ke dalam mobil. Tanpa melihatku, tanpa merasakan akan hadirnya diriku, mobil itu berjalan meninggalkan restoran yang dulunya sering kudatangi bersama lelaki itu. Ya tuhan, apakah ‘waktu’ wajar sebagai peroboh janji?
“Aku janji akan setia. Aku yakin tidak ada gadis lain yang akan hinggap di hatiku kecuali kamu. Hanya kamu.”
Kalimat itu terus tergiang menemaniku pulang ke rumah. Kalimat itu terus saja membuat hatiku hancur sehancur-hancurnya. Kalimat itu membuat mataku tak bosan untuk menangis.
“Sampai kapanpun itu?”
“Iya! Sampai aku mati, hanya kamu yang akan ku cintai! Hanya kamu yang akan ku bahagiakan!”
Semuanya masih teringat jelas. Semua janjinya! Tapi, bukannya aku dengan sangat mudah percaya dengan janjinya, tapi dia sendiri yang berjanji di hadapanku saat aku sekarat.
“Bertahanlah Ghina! Jangan pergi!”
“Aku tidak kuat Dimas, Aku tidak kuat.....”
Dimas menangis. “Kalau begitu... pilihlah yang membuatmu nyaman Ghina... tapi ingat, aku akan selalu mencintaimu! Aku tidak akan bersama yang lain, aku tidak akan membahagiakan wanita lain!”
Mengingat percakapan itu, aku terjatuh. Hatiku hancur. Aku tidak percaya kalau ternyata dia tidak menepati janjinya meskipun aku dengannya sudah empat tahun lamanya, namun waktu adalah sebaik-baiknya pembukti sebuah janji.
Aku menyeret kedua kakiku sampai ke depan rumah. Air mataku membasahi tanah. Aku tidak percaya, sampai sekarang masih tidak percaya, lelaki yang sudah menemaniku selama itu ternyata masih bisa jatuh hati dengan wanita lain.
Dengan hati yang remuk, aku kembali ke dalam rumah sederhana ini. Rumah yang hanya ditaburi bunga-bunga yang indah. Aku sengaja berpesan agar rumahku ini, ditaburi bunga setiap hari agar aku tidak kesepian. Aku juga berpesan, di nisanku ada tulisan,
Karena yang pergi, belum tentu mati.”
***
“Ghina, bertahanlah! Jangan mati! Ku mohon!” Dimas memeluk erat tubuh Ghina yang terbaring tanpa napas diatas kasur rumah sakit.
Tapi Dimas berjanji, tidak akan mencintai wanita lain lagi, tidak akan membahagiakan wanita lain lagi. Namun 7 bulan kemudian, setiap Ghina keluar dari rumahnya, memakai pakaian yang sudah ketinggalan jaman, dengan tak ada bayangan di atas aspal, Ghina mendapati Dimas dengan wanita lain. Yang lebih cantik, yang lebih mempesona, tapi, apakah wajar kekosongan hati membuat diri melupakan janji?

Sabtu, 03 Oktober 2015

UNTUK KAMU YANG MERASA



Hai, kamu!
Kamu tahu, saat aku berjalan menyusuri kota Jogja, aku selalu mengingatmu. Ketika kamu berbelanja di toko yang sekarang aku pijak, aku membayangkan kamu sedang memegang snack yang sama seperti yang aku pegang. Lalu timbul tanya, “Apakah kita akan bertemu?”
Ketika aku keluar masuk gerbang salah satu universitas di Jogja, aku selalu menoleh kearah tulisan universitas itu dan ingat kamu pernah duduk disana. Lalu timbul tanya, “Apakah kamu akan duduk disana lagi?”
Ketika kamu jajan di sepanjang jalan malioboro dan aku ternyata sekarang berada di malioboro. Ketika kamu naik becak, ketika kamu ini, ketika kamu itu, ketika kamu blablablablabla....
Sayangnya, kita ke jogja di dimensi waktu yang berbeda.
Sayangnya, sampai saat ini kita belum bertatap muka.
Sayangnya, aku tinggal di sini dan kamu tidak dikehendaki disini.
Sayangnya, kita hanya disatukan di langit yang sama, bukan di kota yang sama.
Sayangnya... tidak ada kepastian pertemuan kita.