Sinar matahari
menyilaukan pandanganku. Hari memang sudah sore tapi Aku masih berdiri disini,
menatap sesuatu yang mungkin tak akan balik melihatku. Mataku menyipit, samar-samar aku melihatnya
berdiri dari kursi dan tangannya menggandeng seorang wanita bertubuh langsing
nan cantik. Dia memang lebih cantik daripada aku, tapi, apakah kecantikan itu
pantas menggoyahkan sebuah perjanjian?
Aku mengikutinya sampai
ke pelataran parkir. Rambut wanita itu tergerai menutupi sebagian wajahnya
membuat lelaki yang menggandengnya seketika merapikan rambut wanita itu hingga
seluruh wajah cantiknya terlihat. Wanita itu tersenyum manis lalu jinjit
sedikit mengecup pipi lelalki itu. Aku menunduk
menatapi sepatu kucelku, model tahun 2000-an yang sangat ketinggalan jaman. Berbeda
dengan dia, yang serba modis dengan gayanya yang sangat menawan.
Lelaki itu tersenyum
bahagia lalu mempersilahkan wanitanya masuk ke dalam mobil. Tanpa melihatku,
tanpa merasakan akan hadirnya diriku, mobil itu berjalan meninggalkan restoran
yang dulunya sering kudatangi bersama lelaki itu. Ya tuhan, apakah ‘waktu’ wajar
sebagai peroboh janji?
“Aku janji akan setia. Aku
yakin tidak ada gadis lain yang akan hinggap di hatiku kecuali kamu. Hanya kamu.”
Kalimat itu terus
tergiang menemaniku pulang ke rumah. Kalimat itu terus saja membuat hatiku
hancur sehancur-hancurnya. Kalimat itu membuat mataku tak bosan untuk menangis.
“Sampai kapanpun itu?”
“Iya! Sampai aku mati,
hanya kamu yang akan ku cintai! Hanya kamu yang akan ku bahagiakan!”
Semuanya masih teringat
jelas. Semua janjinya! Tapi, bukannya aku dengan sangat mudah percaya dengan
janjinya, tapi dia sendiri yang berjanji di hadapanku saat aku sekarat.
“Bertahanlah Ghina! Jangan
pergi!”
“Aku tidak kuat Dimas, Aku
tidak kuat.....”
Dimas menangis. “Kalau
begitu... pilihlah yang membuatmu nyaman Ghina... tapi ingat, aku akan selalu
mencintaimu! Aku tidak akan bersama yang lain, aku tidak akan membahagiakan
wanita lain!”
Mengingat percakapan itu,
aku terjatuh. Hatiku hancur. Aku tidak percaya kalau ternyata dia tidak
menepati janjinya meskipun aku dengannya sudah empat tahun lamanya, namun waktu
adalah sebaik-baiknya pembukti sebuah janji.
Aku menyeret kedua kakiku
sampai ke depan rumah. Air mataku membasahi tanah. Aku tidak percaya, sampai
sekarang masih tidak percaya, lelaki yang sudah menemaniku selama itu ternyata
masih bisa jatuh hati dengan wanita lain.
Dengan hati yang remuk,
aku kembali ke dalam rumah sederhana ini. Rumah yang hanya ditaburi bunga-bunga
yang indah. Aku sengaja berpesan agar rumahku ini, ditaburi bunga setiap hari
agar aku tidak kesepian. Aku juga berpesan, di nisanku ada tulisan,
“Karena yang pergi, belum
tentu mati.”
***
“Ghina, bertahanlah! Jangan
mati! Ku mohon!” Dimas memeluk erat tubuh Ghina yang terbaring tanpa napas
diatas kasur rumah sakit.
Tapi Dimas berjanji,
tidak akan mencintai wanita lain lagi, tidak akan membahagiakan wanita lain
lagi. Namun 7 bulan kemudian, setiap Ghina keluar dari rumahnya, memakai
pakaian yang sudah ketinggalan jaman, dengan tak ada bayangan di atas aspal, Ghina
mendapati Dimas dengan wanita lain. Yang lebih cantik, yang lebih mempesona,
tapi, apakah wajar kekosongan hati membuat diri melupakan janji?