Aku takut hujan. Aku takut dengan kilat
lalu diikuti suara gemuruh guntur. Aku juga takut dengan suaranya karena air
hujan terlalu deras jatuh diatap rumah.
Aku takut hujan. Aku takut dengan semua kenangan yang dibawa hujan,
seakan-akan kerinduanku pada suatu hal kembali muncul setelah sekian lama aku
mencoba melupakanya. Aku juga takut dengan semua air mata yang jatuh di pipiku
ketika hujan.
Dulunya aku pernah betah melihat hujan
dari jendela kamarku. Menatap setiap tetes-tetes hujan membasahi kaca. Selain
itu, aku bisa melihat dia keluar dari rumahnya untuk mengangkat jemuran dengan
tergesa-gesa. Lalu aku akan berteriak “Hey!” kepadanya. Dia pasti akan menoleh
ke atas karena kamarku dilantai dua, tersenyum, lalu masuk ke dalam rumah dan
segera mengirimiku pesan. “Sudah siap Mrs. Rainy?”
Tapi itu dulu, sekarang aku mungkin
tidak akan mau melihat hujan lagi atau meneriakinya. Iya, aku takut dan sekarang
sedang..... hujan.
Aku duduk diatas ranjang dengan memeluk
lututku erat. Aku hanya merasakan suhunya begitu dingin. Seperti yang ku
katakan tadi, setiap hujan turun, memori ingatanku seperti mundur ke belakang
untuk memutar suatu kejadian yang sangat amat membuatku remuk.
Setiap hujan kami pasti akan
berkomunikasi. Seperti sudah tradisi, dia yang akan lari keluar rumah untuk
mengambil jemuran yang seharusnya itu tugas kakak perempuannya atau perempuan
siapapun dirumahnya. Tanpa pernah terlewati, aku pasti akan berteriak
memanggilnya dari jendela kamarku atau dia yang pertama mendongak memastikan
aku ada atau tidak.
Hanya hujan yang memberanikan dia
mengirimi ku pesan meskipun di dunia nyata kami adalah teman yang baik. Hanya
hujan yang membuat kami pergi berdua. Hanya hujan yang dapat membuatku
melihatnya sedekat mungkin. Hanya hujan yang mampu membuat hatiku
melayang-layang.
Sudah
siap Mrs. Rainy?
Aku yakin aku yang menang!
No
no no, Tuhan selalu berpihak pada Arjuna!
Baiklah, mari kita buktikan!
Karena
kemarin kamu yang menebak duluan, sekarang giliranku untuk menebak.
Baiklah.
Hujan
akan berhenti lebih dari pukul enam sore.
Hujan akan berhenti sebelum pukul
enam sore.
Kamu
tidak akan menang Mrs. Rainy! Sekarang sudah jam lima dan hujannya sangat deras
Kalau aku menang, kamu harus traktir
aku es campur depan kompleks! Gimana?
Es
campur doang? Ga mau ah. Aku kan cowo gentle, masa es campur doang. Aku traktir
kamu makan malam di cafe Bintang kalau kamu menang. Tapi kalau kamu kalah, kamu
traktir aku makan siomay aja, gimana?
Oke!
Itulah
kebiasaan kami. Setiap hujan kami selalu main tebak-tebakan, jam berapa hujan
itu akan reda dan setelah reda, kami akan menepati perjanjian. Pergi makankah,
pergi nonton kah, pergi main ice skating kah, atau apapun itu.
Hanya itu cara
kami. Kami terlalu naif untuk mengakui perasaan masing-masing...
Sampai jam enam
lewat sepuluh menit, hujan belum juga reda. Saat itu aku tahu kali ini Arjuna
yang menang dan aku harus traktir dia siomay langganan kami di perempatan jalan
kota.
Aku sudah sampai di Siomay andalan nih. Aku
tunggu kamu yah.
Sip.
Malam itu
benar-benar dingin dan gelap karena hujan baru reda. Karena kami tidak pernah
pergi bersama-sama meskipun rumah kami saling berhadapan dan aku juga tidak
tahu naik kendaraan, aku menelpon ojek (Mas Dimar), tukang ojekku sewaktu SMA.
Tapi aku tidak tahu waktu itu mengapa Mas Dimar lama sekali. Sekitar tiga puluh
menit kemudian Mas Dimar baru datang.
“Mas kok lama banget?”
“Maaf Mbak saya abis nganterin anak pulang dari
kerja kelompok di pakem.”
“Yaudah Mas cepetan yah ke Siomay yang di
perempatan kota itu. Tau kan?” jawabku sedikit tak percaya.
“Iya Mba.”
Dengan hati
resah aku duduk di jok motor Mas Dimar. Aku takut Arjuna marah denganku. Tapi
Mas Dimar mengendarai motor dengan laju yang sangat cepat, sampai aku lupa
jalanan masih licin dan lampu lalu lintas tidak menyala. Mas Dimar mencoba
menyelip diantara dua mobil namun yang
terjadi adalah Mas Dimar kehilangan keseimbangan.
“MAAAAAASSSSS!!!!!!!”
Kedengarannya hujan sudah reda, membuatku tersadar
dari ingatan masa lalu. Yah, terakhir yang aku ingat dari hari itu adalah aku
teriak. Aku tidak tahu siapa yang menolongku, bagaimana aku bisa sampai dirumah
sakit, bagaimana bisa orang tuaku tahu, atau bagaimana keadaan Arjuna.
Ketika aku terbangun dari ranjang yang begitu
empuk, tidak ada yang berbeda. Tetap gelap, seperti saat aku tertidur. Ibu lalu membisikkan ke
telingaku bahwa Mas Dimar meninggal ditempat.
Aku teriak sejadi-jadinya waktu itu. Bukan hanya
karena mas Dimar meninggal, tapi karena aku........ menjadi buta.
Aku buta!
Sekarang, aku tidak bisa melihat hujan lagi,
melihat keluar jendela, melihat layar handphone, melihat jam dinding di kamar,
atau bahkan melihat apakah Arjuna sedang ada diteras rumahnya atau tidak.
Maka dari itu, sekarang aku takut hujan. Bukan
benci. Aku takut dengan hujan, karena dengan keadaan seperti ini, aku sadar
kalau suara hujan begitu menakutkan. Aku takut hujan! Aku takut, Arjuna akan
berlari keluar rumah mengambil jemuran seperti biasa, mendongak keatas dan
mendapati aku tidak ada disana. Aku takut Arjuna mengirimiku pesan dan aku
tidak pernah membacanya.
Aku takut hujan, karena hujan membawa kenangan
yang selalu aku coba untuk melupakannya. Aku takut hujan....... karena hujan
selalu berhasil membuatku menangis.
Sekarang aku kedinginan. Aku hanya bisa
mendengar dan merasakan hujan. Aku tidak bisa melihat Arjuna lagi, dan aku,
sebenarnya tidak tahu lagi dengan kabarnya sejak dua tahun yang lalu setelah
kejadian itu.