Gadis Kecil yang suka merangkai kata
Blogaholic Designs”=

Followers

Yang Nyangkut :D

SURE!

SURE!

Rabu, 08 Maret 2017

Seharusnya



Seharusnya.
Seandainya.
Semestinya.
***
Pagi itu aku melihatmu membawa setumpuk kertas dari ruangan dosen. Akhirnya, aku mendapatkanmu setelah berputar-putar dalam gedung. Wajahmu tampak kusut, bajumu berantakan dan langkahmu tidak beraturan. Aku diam, awalnya ingin menyapamu, ingin bertanya kabar, lalu menjelaskan semua yang tejadi, tapi tiba-tiba takut. Perlahan, aku berjalan di belakangmu. Tanpa kamu sadari, kamu terus berjalan sampai menaiki tangga. Namun langkahmu tiba-tiba tidak seimbang, sedetik kemudian kamu jatuh dan kertas berterbangan di udara.
“SIAL!!!” katamu.
Langkahku seketika terhenti tepat di kaki tangga, aku kaget. Matamu lalu tertuju padaku, kaget, tapi tanpa pikir panjang kamu memalingkannya dan memungut kertas-kertas itu di lantai. Beberapa lembar jatuh sampai kakiku. Matamu menatap kertas di kakiku, lalu mengarah melihat wajahku.
“Kemana saja?”
Aku menelan ludah.  Aku sudah menduga kalau kamu akan bertanya seperti ini.
“Kalau tidak bisa jawab, berikan saja kertas itu.” sambungnya.
Aku diam. Aku melihatnya lekat-lekat, oh sungguh aku rindu dengan tatapan itu. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana, jadi aku menunduk, mengambil kertas di kakiku. Tanganku gemetar, rinduku benar-benar menguras tenagaku. Aku memberikannya dengan sisa tenaga yang aku miliki. Tanganku bergantungan di udara, kamu hanya melihat kertas itu, tanpa berniat mengambilnya.
“Benar tidak bisa jawab?” Tanyamu lagi.
Aku merasa mataku mulai panas, aku menahan untuk tidak menangis. Aku tidak tahu kenapa aku hanya bisa diam. Padahal aku sudah menyusun kalimat sejak tadi malam di kamarku. Tapi rasanya lidahku keluh saat berhadapan denganmu.
Lima detik berlalu, kamu mengambil kertas itu.
“Kalau mau pergi, tidak usah kembali.” Katamu tanpa sedikitpun melihatku, melanjutkan menaiki tangga. Langkahmu terdengar menakutkan. Aku tahu dari pancaran wajahmu, kamu begitu kecewa. Seiring langkahmu yang sudah tidak terdengar, air mataku keluar.
Aku mengurungkan niat untuk mengikutimu, mencari sebuah kursi yang bisa di duduki. Dadaku terasa sesak. Kenapa aku tidak bisa ngomong? Satu kata pun tidak bisa? Kenapa aku hanya diam saja?
Seharusnya aku tidak begitu. Seharusnya aku ngomong yang sebenarnya terjadi dan apa yang aku rasakan, yaitu rindu. Seandainya dapat diulang kembali, aku pasti akan mengatakan apa yang kurasa. Ah, semestinya tidak seperti ini...
Tapi, tahukah kamu, semalam aku terus memikirkan kamu. Bukan ini yang aku mau. Kemarin aku benar-benar sibuk mengurus skripsiku, aku selalu ingin mengabarimu. Tapi jaringan di desa yang aku tempati tidak memadai. Sebulan itu aku terus memikirkanmu. Aku mengirim surat ke rumahmu, tapi tidak bisa karena tidak ada kapal yang berangkat.
Seharusnya aku bilang.
Aku ingin bilang, kalau aku tidak pernah pergi.
Terlambatkah aku untuk meminta maaf? Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu. aku hanya tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan.
Aku menatap tangga yang tadi, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. kamu turun dengan wajah yang sulit aku artikan. Air mataku berlomba-lomba untuk keluar. Mengalir begitu cepat sampai jatuh di rok yang aku kenakan.
Kamu melewatiku begitu saja. Dadaku begitu sesak. Aku menangis. Tapi tiba-tiba aku merasakan satu dekapan yang begitu aku kenal. Aku membuka mata. Kamu sudah membalut tubuhku dengan tubuhmu.
“Waktu tidak bisa diulang, aku tidak ingin menyesal karena melepas kamu.”
Kalimatmu seakan membiusku.
“Aku tidak pernah pergi.” Jawabku lirih.