Gadis Kecil yang suka merangkai kata
Blogaholic Designs”=

Followers

Yang Nyangkut :D

SURE!

SURE!

Selasa, 06 November 2018

November Series #2


Kacamata Hitam #2

14 Agustus 2011
Aku duduk dipinggir lapangan dengan keringat yang meluap-luap. Kakiku terasa sangat pegal padahal tanganku yang lebih banyak gerak. Raket yang ku gunakan tadi ku simpan dibelakangku, lalu ku ambil botol air minum yang isinya sepertinya sudah...hampir habis. Yah, tapi memang sudah habis. Aku menengok ke arah Dirga, lawan mainku tadi, aku ingin meminta air minumnya. Bukannya aku meminta air minum, tapi mataku malah berhenti pada seorang gadis yang sedang berdiri di depan majalah dinding sekolah, sekitar tujuh meter dari tempatku istirahat.
“Oi, liatin apa?” Tanya Dirga yang duduk disampingku.
“Itu anak baru?” Tanyaku.
Dirga lalu menoleh melihat ke arah majalah dinding, beberapa detik kemudian pandangannya kembali. “iya kali, baru liat juga gue.”
Aku memerhatikan wajahnya lama. Dia memakai kacamata hitam, tubuhnya kecil, dan memakai jaket berwarna merah muda. Manis sekali.
Setelah dia pergi, aku langsung menghampiri majalah yang isinya bertema 17 Agustus itu. Disudut kiri bawah dari majalah dinding, terdapat biodata anggota baru anak KIR beserta fotonya. Aku mencari wajah yang tadi ku lihat, dari baris atas sampai baris bawah. Dan, YES!
Dia anak kelas satu, baru masuk sekolah, dan masuk dalam KIR.
Aku membaca namanya..... Rainyka Fachri Gumelar, dipanggil Rainy.
Oh... i got u Rain.
***

26 November 2017
“Har, ini ada anaknya temannya Mama, cantik deh,” Kata Mama sambil menyodorkan handphonenya. Di layarnya telah terpampang foto gadis yang... memang cantik.
“Masih muda banget?” Jawabku setelah melihatnya beberapa detik. Sepertinya, dia baru berumur 20 tahun.
“Iya, tapi lihat, dia cocok banget sama kamu.”
Aku tersenyum tipis. Mama kemudian menatapku.
“Har... kenapa sih? Heran Mama, kok ga ada cewe yang kamu suka?”
Aku diam.
Aku tidak ingin membicarakan perempuan lain dengan Mama.
***

13 Agustus 2018
Dino, adik cowokku satu-satunya. Dia memang sering jahil, tapi dia anak yang paling rajin jika aku menyuruhnya. Tapi kali ini, aku rasa dia menjadi adik yang menyebalkan. Sejak jam 1 siang tadi, Dino meminjam handphoneku untuk bermain game. Tidak tahulah game apa yang sedang booming, aku bukan pemain game dan Dino download semua game kesukaannya di handphoneku.
“No, sini, Mas mau nelpon dulu.” Pintaku.
Dino menjulurkan lidahnya. “Boong!” Jawabnya.
Aku menggelengkan kepala dan duduk pasrah diruang tamu menunggu Dino selesai bermain game. Beberapa menit kemudian Dino mendatangiku dan menyodorkan handponeku.
“Ada telpon yang masuk,” Katanya. “Habis telponan adek pinjem lagi ya Mas!”
Aku termangu, padahal tadi aku benar bohong. Tapi kok, kebetulan banget ada telpon yang masuk? Aku menerima handphoneku lalu mengecek panggilan masuk.
Tiba-tiba...
Aku tersentak.
Mataku terbelalak.
Aku memperbaiki posisi duduk lalu melihat layar handphone dengan mata bulat,
HUJAN
Itu... benar kamu?
Aku lalu mencari adikku, dan ku dapati ia sedang tiduran dengan malas di kamarnya.
“Dek! Kok ga langsung ngasih aku pas masih bunyi?” Tanyaku dengan nada sedikit tinggi.
“Loh, telfonnya Cuma bentar, aku baru mau ngasih Mas tapi malah udah mati.”
Aku kembali ke ruang tamu. Melihat lagi panggilan tidak terjawab itu. aku keluar ke home. Lalu masuk lagi ke panggilan. Namanya tetap sama. HUJAN. Ada apa? Kamu kenapa?
Aku gemetaran. Sudah lama sekali... ada apa? Ada apa? Kamu kenapa Hujan?
***

Beberapa jam yang lalu, Hujan menelponku. Aku tidak sempat mengangkatnya, dan sampai sekarang aku terus memikirkannya. Setelah itu dia juga tidak menelpon lagi atau memberi pesan singkat. Sekarang sudah jam 3 pagi, aku masih terus memikirkan apakah aku SMS dia atau balik menelpon? Aku pengecut!
Ah... sekarang sudah ganti tanggal, 14 Agustus. Aku ingat hari ini. hari ini tepat tahun ke-tujuh aku mengenalmu...
Aku masih ingat, saat pertama kali aku terpana dengan raut wajahmu. Lalu ku perhatikan kamu diam-diam selama itu, hingga akhirnya satu tahun kemudian aku naik menjadi wakil ketua OSIS dan meminta KIR untuk mengangkat berita seputar Olahraga. Dan perfect, tanpa ku minta lagi ke KIR ternyata kamu yang mewawancarai aku. Aku gugup bukan main, bahkan sudah ku siapkan beberapa pocky untuk kuberikan padamu tapi saking gugupnya aku takut dan mengurungkan niat. Sampai sekarang kamu tidak pernah tahu akan hal ini.
Aku sangat bahagia ketika akhirnya kita memutuskan untuk bersama. Lalu akhirnya aku harus merantau kuliah dan kamu masih sekolah di Jogja. Aku masih ingat bagaimana brengseknya aku hingga kamu menangis karena aku. Aku masih ingat bagaimana aku mencampakkamu hingga akhirnya kamu ragu. Aku masih sangat ingat jelas, ketika akhirnya aku hanya bisa diam ketika kamu meminta pisah. Aku ingat jelas kesalahan-kesalahanku itu,
“Har, kok lu masih di Jakarta?” Tanya Bento teman kuliah sekaligus teman SMA ku juga. Matanya terbelalak sangat kaget melihatku.
Saat itu aku sedang makan di warung nasi dekat kost, aku masih ingat aku langsung memesan dua nasi sekaligus karena lapar sekali.
“Ha? Maksud lu apaan?” Kataku heran.
“Lu ga tau?” Tanyanya lagi.
“Apaan?”
“Lah, Bokapnya Rainy wafat kemarin, ini anak-anak yang lagi selo pada balik jogja.”
DEG.
DEG.
DEG.
DEG.
“Serius lu Ben?”
“Lu lagi barentem ama Rainy?” tanya Bento. “Gua ga tau masalah kalian apa, tapi gua rasa lu harus hubungin dia. Kasihan, padahal Bokap dia sehat-sehat aja tadinya. Seengaknya lu harus ada, Har. Dia masih pacar lu, kan?”

Aku ingat percakapan pendek itu. Sangat sangat menusuk bagiku. Itu adalah tahun keempat kita. Aku ingat jelas, waktu itu kamu sudah berusaha menghubungiku, tapi tak pernah aku baca. Sesaat setelah itu aku sadar, aku sama sekali tidak pantas untuk terus bersamamu. Bahkan disaat kondisi terpurukmu, aku tidak tahu. Aku tidak disana. Aku memang sangat suka denganmu namun entah mengapa sangat berat bagiku jika kamu harus menerima terus-menerus sifat sikapku yang selalu menyakitimu.
Lalu aku hanya diam. Dan dua bulan kemudian kamu meminta pisah. Aku masih diam. Tak pernah membalas pesanmu atau menjawab telponmu. Aku terus diam. Sangat sangat sakit. Aku minta maaf.
Dan setelah tiga tahun, kamu menghubungiku. Tapi ku tetap tidak mengangkatnya, meskipun karena Hp-ku dipegang Dino. Tapi, kamu jelas menyimpulkan bahwa aku memang tidak ingin tahu tentang kamu lagi. Dan aku sangat penasaran, ada apa? Kamu kenapa?
Padahal, selama tiga tahun setelah kita pisah, aku masih memikirkanmu. Memikirkan semua kesalahanku. Memikirkan bagaimana keadaanmu sekarang. Memikirkan apakah kamu bahagia atau bagaimana. Memikirkan apakah kamu sudah memaafkan aku atau tidak....
Astaga, aku sangat brengsek.
Pengecut....
Hujan... maukah kau memaafkan aku?

Listen to:
Lund - Broken

 Bersambung....


Kamis, 01 November 2018

November Series #1


POCKY dan KUACI #1

Aku tersenyum, mengingat potongan-potongan wajahmu dan ku lukiskan di langit. Senyummu begitu indah, sampai aku ingin mengantonginya lalu ku bawa pulang ke rumah. Sumpah, Kamu begitu Indah.
Kamu begitu indah.
***

Sekitar pukul 4 sore tadi, aku bertemu dengan seorang pria. Dia adalah kakak kelasku, wakil ketua OSIS juga, jago sekali bermain bulu tangkis. Aku sebelumnya tidak pernah berbicara dengan dia, dia pun mungkin tidak tahu siapa aku. Kita beda angkatan, dan beda kegiatan sekolah. Dia memilih OSIS sedangkan aku memilih menjadi anak KIR. Tidak terlalu banyak perempuan yang meliriknya, karena ketua OSIS ku gantengnya minta ampun. Tapi itu yang membuatku tertarik kepadanya, dia sama sekali tidak pernah tebar pesona. Tapi kok, entah mengapa aku terpesona.

Saat majalah sekolah ingin mengulas tentang Bulu Tangkis, dengan cepat aku mengajukan diri untuk meliput Mas Hari. iya, Namanya Hari. Ketua KIR ku langsung setuju dan disinilah aku, kembali ke kelas setelah selesai mewawancarai Mas Hari di Taman Baca Sekolah. Aku duduk lalu membuka buku kecilku, hasil wawancara tadi. Lalu aku ingat sepotong-potong candaan dari Mas Hari,
“Kok kamu mirip artis ya?”
Aku melongo, “Hah?” Wajahku memerah.
“Eh iya, namamu siapa tadi?”
Aku memperbaiki posisi duduk, “Anu Mas, nama saya Rainy.”
“Oh kamu lahir pas hujan ya?”
“Ah?....”
Mas Hari tersenyum. “Maaf maaf, bercanda kok.”

Jantungku berdegub dengan kencang. Jawabanku hanya Hah? Ah? Eh? Ahaha... Hm, Belum pernah aku lihat Mas Hari senyum seperti itu. 

“Duh kok aku grogi ya?” Kata Mas Hari ditengah perbincangan.
“Maaf mas... santai aja ya mas...” Ucapku, namun dalam hati berteriak, Ah Gimana si! Aku yang lebih grogi tau!.
“Eh, mau Pocky?” Tawar Mas Hari sambil mengeluarkan pocky dari balik tasnya.
Aku hanya tersenyum, dan mengisyaratkan tidak usah. Tapi Mas Hari malah tertawa,
“Ga ada cewe yang ga suka pocky loh!” Kata Mas Hari sambil mengigit 3 stick sekaligus. “Kalau aku ini makan pocky bukan karena aku cewe, tapi  biar ga grogi.” Lanjutnya ringan.

Aku tetap bertahan tidak ingin mengambilnya, selain karena malu, tapi aku juga tidak mau memperlihatkan Mas Hari ekspresi wajahku yang acak-acakan jika makan sesuatu.

Aku tersenyum-senyum lagi mengingat kejadian tadi. Rumor yang beredar bahwa Mas Hari itu cerewet benar adanya, namun entah mengapa aku merasa Mas Hari terasa teduh dan nyaman. Sampai lupa kalau aku benar-benar baru pertama kali berbicara dengannya, dia membangun suasana yang nyaman meski dengan orang baru sepertiku. Oh iya, satu kejadian lagi yang membuatku deg-degan sampai sekarang, saat wawancaranya telah selesai dan Mas Hari hendak izin pulang duluan.

“Oh ya, Makasih ya Rania. Aku pulang duluan.”
“Ah? Namaku bukan Rania mas... hehe” Jawabku.
Ah, memang banyak yang salah ingat namaku.
“Ahaha... sengaja. aku tau kok, Hujan kan?” Sambung Mas Hari.
“Eh?... “ Dia sengaja? Jadi tidak salah ingat? Wajahku benar-benar memerah. “Makasih Mas Hari....” sambungku.
“Yes Rainy.” Jawab Mas Hari sambil tersenyum begitu manis.
***

Aku masih ingat pertemuan pertama kita. Obrolan pertama kita di taman baca itu. aku juga masih ingat kenapa sampai sekarang kamu memanggilku dengan sebutan “Hujan” sedangkan aku memanggilmu Riku atau Rik. Meskipun panggilan “Hari” sepertinya lebih bagus.

“Eh, Si Hujan?” Sapamu di parkiran saat hendak pulang.

Aku tersentak. Kuaci-kuaci pemberian Gina-teman kelasku terhambur diudara karena aku menabrak motor yang terparkir, saking kagetnya. Aku lalu memungutnya dengan cepat. Malu sekali.

“Kok banyak banget kuacinya?” Tanyamu dan langsung membantuku memungutnya diatas aspal parkiran sekolah.

Lagi-lagi aku lupa untuk menjawab, mendengar suaramu yang berat dan sexy(?) ah pokoknya cowok banget, membuatku terpana-pana. Aku mengangkat wajahku, melihatmu sedang memungut kuaci dengan cekatan. Cahaya matahari sore seakan hanya menyoroti wajahmu yang sederhana namun sangat memikat bagiku. Lalu wajahmu melihatku, matamu terpantul cahaya sore, kamu tersenyum. Oh astaga, jantungku tidak karuan. Rasanya berdetak begitu cepat, lebih cepat dari biasanya. Wajahmu seakan terlalu bersinar membuat aku membeku hebat. Dan Kok, berubah jadi ganteng banget ya sore ini?

Kamu masih tersenyum, kemudian memberiku empat bungkus kuaci yang berhasil kamu pungut. Kamu... menyihir aku.

“Ma..Makasih...” Jawabku terbata-bata.
“Kamu suka kuaci?” tanyamu. Lalu kita berdiri dan saling berhadapan.
“Eng... engga juga sih. Tapi temanku membeli kuaci-kuaci ini di luar negeri. Jadi aku meminta banyak. Katanya enak... mau?” Kataku lancar dan percaya diri, entah mengapa mengalir begitu saja padahal aku begitu gugup.
“Hahah.. apa kuaci bisa ngebuat aku ga grogi?”
Aku terdiam, bingung.
“Karena aku selalu grogi depan kamu.” Jawabmu enteng.

Blaaaaassssssssssss. BLAAASSSSS!!!

Sekujur tubuhku membeku. Aku bahkan tidak tahu harus jawab apa. Wajahku sangat panas, memerah. Seakan-akan ada bunga yang mekar disela-sela otakku. Aku tidak tahu tapi sepertinya jantungku akan bermasalah karena berdegub tidak karuan. Belum juga selesai aku mengatur mimik wajah yang normal, tapi kamu bertanya lagi,

“Aku panggil kamu Hujan, boleh ya?” Pintamu.

Aku hanya mengangguk. Satu sore yang dasyat terjadi lagi. Aku masih ingat dengan jelas gestur tubuhmu, saat kamu memakai helm, saat kamu pamit jalan duluan, lalu menoleh sedikit sebelum benar-benar hilang dari balik gerbang sekolah. Sejurusnya kamu seakan membuat sebuah rahasia, saat kamu menoleh, aku tahu wajahmu tersenyum begitu lebar. Tak bisa ku pungkiri, aku begitu bahagia.

 Malamnya aku lalu mengganti nama kontakmu di handphoneku, Rikuuuu. Dari kata Hari dan Ku, Hariku, Hehe. Agar aku merasa istimewa, dan agar Mas Hari istimewa di Handphoneku. Biar aku saja yang tahu, Rik ga usah.
***

Sampai hari ini aku masih ingat perasaan yang begitu dasyat ketika bertemu denganmu di sekolah. Aku masih ingat wajahmu, masih ingat tingkahmu, masih ingat suaramu, masih ingat parfummu, masih ingat caramu berjalan, masih ingat caramu senyum, masih ingat caramu tertawa...

Aku masih ingat ketika kita keliling kota semalaman sambil memakan kuaci, aku masih ingat kita nyanyi tidak jelas sepanjang perjalanan ke pantai, aku masih ingat kamu menarik tanganku untuk pertama kalinya di titik nol kilometer, aku masih ingat kita ke bukit bintang dan kamu sakit perut, aku masih ingat ketika kita makan di restoran mahal tapi kita tidak bawa uang, aku masih ingat kita menari di pentas musik akhir tahun, aku masih ingat ketika malam-malam kita keliling hanya untuk mencari pocky, aku masih ingat bensin motor habis ditengah malam sepulang dari alun-alun kota lalu kita tertawa selama jalan kaki mendorong motor, aku masih ingat semuanya yang tak bisa disebutkan satu-satu... aku masih ingat.....
Rik, Lalu akhirnya kisah kita menjadi begitu berliku.
Rik, apa kabar? 
Apa kamu masih ingat semua itu?
Listen to:
Two Feet – Love is a Bitch
Bersambung.