Kacamata Hitam #2
14 Agustus 2011
Aku
duduk dipinggir lapangan dengan keringat yang meluap-luap. Kakiku terasa sangat
pegal padahal tanganku yang lebih banyak gerak. Raket yang ku gunakan tadi ku
simpan dibelakangku, lalu ku ambil botol air minum yang isinya sepertinya
sudah...hampir habis. Yah, tapi memang sudah habis. Aku menengok ke arah Dirga,
lawan mainku tadi, aku ingin meminta air minumnya. Bukannya aku meminta air
minum, tapi mataku malah berhenti pada seorang gadis yang sedang berdiri di
depan majalah dinding sekolah, sekitar tujuh meter dari tempatku istirahat.
“Oi,
liatin apa?” Tanya Dirga yang duduk disampingku.
“Itu
anak baru?” Tanyaku.
Dirga
lalu menoleh melihat ke arah majalah dinding, beberapa detik kemudian
pandangannya kembali. “iya kali, baru liat juga gue.”
Aku
memerhatikan wajahnya lama. Dia memakai kacamata hitam, tubuhnya kecil, dan
memakai jaket berwarna merah muda. Manis sekali.
Setelah
dia pergi, aku langsung menghampiri majalah yang isinya bertema 17 Agustus itu.
Disudut kiri bawah dari majalah dinding, terdapat biodata anggota baru anak KIR
beserta fotonya. Aku mencari wajah yang tadi ku lihat, dari baris atas sampai
baris bawah. Dan, YES!
Dia
anak kelas satu, baru masuk sekolah, dan masuk dalam KIR.
Aku
membaca namanya..... Rainyka Fachri Gumelar, dipanggil Rainy.
Oh...
i got u Rain.
***
26 November 2017
“Har,
ini ada anaknya temannya Mama, cantik deh,” Kata Mama sambil menyodorkan
handphonenya. Di layarnya telah terpampang foto gadis yang... memang cantik.
“Masih
muda banget?” Jawabku setelah melihatnya beberapa detik. Sepertinya, dia baru
berumur 20 tahun.
“Iya,
tapi lihat, dia cocok banget sama kamu.”
Aku
tersenyum tipis. Mama kemudian menatapku.
“Har...
kenapa sih? Heran Mama, kok ga ada cewe yang kamu suka?”
Aku
diam.
Aku
tidak ingin membicarakan perempuan lain dengan Mama.
***
13 Agustus 2018
Dino,
adik cowokku satu-satunya. Dia memang sering jahil, tapi dia anak yang paling
rajin jika aku menyuruhnya. Tapi kali ini, aku rasa dia menjadi adik yang
menyebalkan. Sejak jam 1 siang tadi, Dino meminjam handphoneku untuk bermain
game. Tidak tahulah game apa yang sedang booming, aku bukan pemain game dan
Dino download semua game kesukaannya di handphoneku.
“No,
sini, Mas mau nelpon dulu.” Pintaku.
Dino
menjulurkan lidahnya. “Boong!” Jawabnya.
Aku
menggelengkan kepala dan duduk pasrah diruang tamu menunggu Dino selesai
bermain game. Beberapa menit kemudian Dino mendatangiku dan menyodorkan
handponeku.
“Ada
telpon yang masuk,” Katanya. “Habis telponan adek pinjem lagi ya Mas!”
Aku
termangu, padahal tadi aku benar bohong. Tapi kok, kebetulan banget ada telpon
yang masuk? Aku menerima handphoneku lalu mengecek panggilan masuk.
Tiba-tiba...
Aku
tersentak.
Mataku
terbelalak.
Aku
memperbaiki posisi duduk lalu melihat layar handphone dengan mata bulat,
HUJAN
Itu...
benar kamu?
Aku
lalu mencari adikku, dan ku dapati ia sedang tiduran dengan malas di kamarnya.
“Dek!
Kok ga langsung ngasih aku pas masih bunyi?” Tanyaku dengan nada sedikit
tinggi.
“Loh,
telfonnya Cuma bentar, aku baru mau ngasih Mas tapi malah udah mati.”
Aku
kembali ke ruang tamu. Melihat lagi panggilan tidak terjawab itu. aku keluar ke
home. Lalu masuk lagi ke panggilan. Namanya tetap sama. HUJAN. Ada apa? Kamu
kenapa?
Aku
gemetaran. Sudah lama sekali... ada apa? Ada apa? Kamu kenapa Hujan?
***
Beberapa
jam yang lalu, Hujan menelponku. Aku tidak sempat mengangkatnya, dan sampai
sekarang aku terus memikirkannya. Setelah itu dia juga tidak menelpon lagi atau
memberi pesan singkat. Sekarang sudah jam 3 pagi, aku masih terus memikirkan
apakah aku SMS dia atau balik menelpon? Aku pengecut!
Ah... sekarang sudah
ganti tanggal, 14 Agustus. Aku ingat hari ini. hari ini tepat tahun ke-tujuh
aku mengenalmu...
Aku
masih ingat, saat pertama kali aku terpana dengan raut wajahmu. Lalu ku
perhatikan kamu diam-diam selama itu, hingga akhirnya satu tahun kemudian aku
naik menjadi wakil ketua OSIS dan meminta KIR untuk mengangkat berita seputar
Olahraga. Dan perfect, tanpa ku minta lagi ke KIR ternyata kamu yang
mewawancarai aku. Aku gugup bukan main, bahkan sudah ku siapkan beberapa pocky
untuk kuberikan padamu tapi saking gugupnya aku takut dan mengurungkan niat.
Sampai sekarang kamu tidak pernah tahu akan hal ini.
Aku
sangat bahagia ketika akhirnya kita memutuskan untuk bersama. Lalu akhirnya aku
harus merantau kuliah dan kamu masih sekolah di Jogja. Aku masih ingat
bagaimana brengseknya aku hingga kamu menangis karena aku. Aku masih ingat
bagaimana aku mencampakkamu hingga akhirnya kamu ragu. Aku masih sangat ingat
jelas, ketika akhirnya aku hanya bisa diam ketika kamu meminta pisah. Aku ingat
jelas kesalahan-kesalahanku itu,
“Har,
kok lu masih di Jakarta?” Tanya Bento teman kuliah sekaligus teman SMA ku juga.
Matanya terbelalak sangat kaget melihatku.
Saat
itu aku sedang makan di warung nasi dekat kost, aku masih ingat aku langsung
memesan dua nasi sekaligus karena lapar sekali.
“Ha?
Maksud lu apaan?” Kataku heran.
“Lu
ga tau?” Tanyanya lagi.
“Apaan?”
“Lah,
Bokapnya Rainy wafat kemarin, ini anak-anak yang lagi selo pada balik jogja.”
DEG.
DEG.
DEG.
DEG.
“Serius
lu Ben?”
“Lu
lagi barentem ama Rainy?” tanya Bento. “Gua ga tau masalah kalian apa, tapi gua
rasa lu harus hubungin dia. Kasihan, padahal Bokap dia sehat-sehat aja tadinya.
Seengaknya lu harus ada, Har. Dia masih pacar lu, kan?”
Aku
ingat percakapan pendek itu. Sangat sangat menusuk bagiku. Itu adalah tahun
keempat kita. Aku ingat jelas, waktu itu kamu sudah berusaha menghubungiku,
tapi tak pernah aku baca. Sesaat setelah itu aku sadar, aku sama sekali tidak
pantas untuk terus bersamamu. Bahkan disaat kondisi terpurukmu, aku tidak tahu.
Aku tidak disana. Aku memang sangat suka denganmu namun entah mengapa sangat
berat bagiku jika kamu harus menerima terus-menerus sifat sikapku yang selalu
menyakitimu.
Lalu
aku hanya diam. Dan dua bulan kemudian kamu meminta pisah. Aku masih diam. Tak
pernah membalas pesanmu atau menjawab telponmu. Aku terus diam. Sangat sangat
sakit. Aku minta maaf.
Dan
setelah tiga tahun, kamu menghubungiku. Tapi ku tetap tidak mengangkatnya,
meskipun karena Hp-ku dipegang Dino. Tapi, kamu jelas menyimpulkan bahwa aku
memang tidak ingin tahu tentang kamu lagi. Dan aku sangat penasaran, ada apa?
Kamu kenapa?
Padahal,
selama tiga tahun setelah kita pisah, aku masih memikirkanmu. Memikirkan semua
kesalahanku. Memikirkan bagaimana keadaanmu sekarang. Memikirkan apakah kamu
bahagia atau bagaimana. Memikirkan apakah kamu sudah memaafkan aku atau
tidak....
Astaga,
aku sangat brengsek.
Pengecut....
Hujan...
maukah kau memaafkan aku?
Listen to:
Lund - Broken
Bersambung....
Tidak ada komentar :
Posting Komentar