Gadis Kecil yang suka merangkai kata
Blogaholic Designs”=

Followers

Yang Nyangkut :D

SURE!

SURE!

Kamis, 01 November 2018

November Series #1


POCKY dan KUACI #1

Aku tersenyum, mengingat potongan-potongan wajahmu dan ku lukiskan di langit. Senyummu begitu indah, sampai aku ingin mengantonginya lalu ku bawa pulang ke rumah. Sumpah, Kamu begitu Indah.
Kamu begitu indah.
***

Sekitar pukul 4 sore tadi, aku bertemu dengan seorang pria. Dia adalah kakak kelasku, wakil ketua OSIS juga, jago sekali bermain bulu tangkis. Aku sebelumnya tidak pernah berbicara dengan dia, dia pun mungkin tidak tahu siapa aku. Kita beda angkatan, dan beda kegiatan sekolah. Dia memilih OSIS sedangkan aku memilih menjadi anak KIR. Tidak terlalu banyak perempuan yang meliriknya, karena ketua OSIS ku gantengnya minta ampun. Tapi itu yang membuatku tertarik kepadanya, dia sama sekali tidak pernah tebar pesona. Tapi kok, entah mengapa aku terpesona.

Saat majalah sekolah ingin mengulas tentang Bulu Tangkis, dengan cepat aku mengajukan diri untuk meliput Mas Hari. iya, Namanya Hari. Ketua KIR ku langsung setuju dan disinilah aku, kembali ke kelas setelah selesai mewawancarai Mas Hari di Taman Baca Sekolah. Aku duduk lalu membuka buku kecilku, hasil wawancara tadi. Lalu aku ingat sepotong-potong candaan dari Mas Hari,
“Kok kamu mirip artis ya?”
Aku melongo, “Hah?” Wajahku memerah.
“Eh iya, namamu siapa tadi?”
Aku memperbaiki posisi duduk, “Anu Mas, nama saya Rainy.”
“Oh kamu lahir pas hujan ya?”
“Ah?....”
Mas Hari tersenyum. “Maaf maaf, bercanda kok.”

Jantungku berdegub dengan kencang. Jawabanku hanya Hah? Ah? Eh? Ahaha... Hm, Belum pernah aku lihat Mas Hari senyum seperti itu. 

“Duh kok aku grogi ya?” Kata Mas Hari ditengah perbincangan.
“Maaf mas... santai aja ya mas...” Ucapku, namun dalam hati berteriak, Ah Gimana si! Aku yang lebih grogi tau!.
“Eh, mau Pocky?” Tawar Mas Hari sambil mengeluarkan pocky dari balik tasnya.
Aku hanya tersenyum, dan mengisyaratkan tidak usah. Tapi Mas Hari malah tertawa,
“Ga ada cewe yang ga suka pocky loh!” Kata Mas Hari sambil mengigit 3 stick sekaligus. “Kalau aku ini makan pocky bukan karena aku cewe, tapi  biar ga grogi.” Lanjutnya ringan.

Aku tetap bertahan tidak ingin mengambilnya, selain karena malu, tapi aku juga tidak mau memperlihatkan Mas Hari ekspresi wajahku yang acak-acakan jika makan sesuatu.

Aku tersenyum-senyum lagi mengingat kejadian tadi. Rumor yang beredar bahwa Mas Hari itu cerewet benar adanya, namun entah mengapa aku merasa Mas Hari terasa teduh dan nyaman. Sampai lupa kalau aku benar-benar baru pertama kali berbicara dengannya, dia membangun suasana yang nyaman meski dengan orang baru sepertiku. Oh iya, satu kejadian lagi yang membuatku deg-degan sampai sekarang, saat wawancaranya telah selesai dan Mas Hari hendak izin pulang duluan.

“Oh ya, Makasih ya Rania. Aku pulang duluan.”
“Ah? Namaku bukan Rania mas... hehe” Jawabku.
Ah, memang banyak yang salah ingat namaku.
“Ahaha... sengaja. aku tau kok, Hujan kan?” Sambung Mas Hari.
“Eh?... “ Dia sengaja? Jadi tidak salah ingat? Wajahku benar-benar memerah. “Makasih Mas Hari....” sambungku.
“Yes Rainy.” Jawab Mas Hari sambil tersenyum begitu manis.
***

Aku masih ingat pertemuan pertama kita. Obrolan pertama kita di taman baca itu. aku juga masih ingat kenapa sampai sekarang kamu memanggilku dengan sebutan “Hujan” sedangkan aku memanggilmu Riku atau Rik. Meskipun panggilan “Hari” sepertinya lebih bagus.

“Eh, Si Hujan?” Sapamu di parkiran saat hendak pulang.

Aku tersentak. Kuaci-kuaci pemberian Gina-teman kelasku terhambur diudara karena aku menabrak motor yang terparkir, saking kagetnya. Aku lalu memungutnya dengan cepat. Malu sekali.

“Kok banyak banget kuacinya?” Tanyamu dan langsung membantuku memungutnya diatas aspal parkiran sekolah.

Lagi-lagi aku lupa untuk menjawab, mendengar suaramu yang berat dan sexy(?) ah pokoknya cowok banget, membuatku terpana-pana. Aku mengangkat wajahku, melihatmu sedang memungut kuaci dengan cekatan. Cahaya matahari sore seakan hanya menyoroti wajahmu yang sederhana namun sangat memikat bagiku. Lalu wajahmu melihatku, matamu terpantul cahaya sore, kamu tersenyum. Oh astaga, jantungku tidak karuan. Rasanya berdetak begitu cepat, lebih cepat dari biasanya. Wajahmu seakan terlalu bersinar membuat aku membeku hebat. Dan Kok, berubah jadi ganteng banget ya sore ini?

Kamu masih tersenyum, kemudian memberiku empat bungkus kuaci yang berhasil kamu pungut. Kamu... menyihir aku.

“Ma..Makasih...” Jawabku terbata-bata.
“Kamu suka kuaci?” tanyamu. Lalu kita berdiri dan saling berhadapan.
“Eng... engga juga sih. Tapi temanku membeli kuaci-kuaci ini di luar negeri. Jadi aku meminta banyak. Katanya enak... mau?” Kataku lancar dan percaya diri, entah mengapa mengalir begitu saja padahal aku begitu gugup.
“Hahah.. apa kuaci bisa ngebuat aku ga grogi?”
Aku terdiam, bingung.
“Karena aku selalu grogi depan kamu.” Jawabmu enteng.

Blaaaaassssssssssss. BLAAASSSSS!!!

Sekujur tubuhku membeku. Aku bahkan tidak tahu harus jawab apa. Wajahku sangat panas, memerah. Seakan-akan ada bunga yang mekar disela-sela otakku. Aku tidak tahu tapi sepertinya jantungku akan bermasalah karena berdegub tidak karuan. Belum juga selesai aku mengatur mimik wajah yang normal, tapi kamu bertanya lagi,

“Aku panggil kamu Hujan, boleh ya?” Pintamu.

Aku hanya mengangguk. Satu sore yang dasyat terjadi lagi. Aku masih ingat dengan jelas gestur tubuhmu, saat kamu memakai helm, saat kamu pamit jalan duluan, lalu menoleh sedikit sebelum benar-benar hilang dari balik gerbang sekolah. Sejurusnya kamu seakan membuat sebuah rahasia, saat kamu menoleh, aku tahu wajahmu tersenyum begitu lebar. Tak bisa ku pungkiri, aku begitu bahagia.

 Malamnya aku lalu mengganti nama kontakmu di handphoneku, Rikuuuu. Dari kata Hari dan Ku, Hariku, Hehe. Agar aku merasa istimewa, dan agar Mas Hari istimewa di Handphoneku. Biar aku saja yang tahu, Rik ga usah.
***

Sampai hari ini aku masih ingat perasaan yang begitu dasyat ketika bertemu denganmu di sekolah. Aku masih ingat wajahmu, masih ingat tingkahmu, masih ingat suaramu, masih ingat parfummu, masih ingat caramu berjalan, masih ingat caramu senyum, masih ingat caramu tertawa...

Aku masih ingat ketika kita keliling kota semalaman sambil memakan kuaci, aku masih ingat kita nyanyi tidak jelas sepanjang perjalanan ke pantai, aku masih ingat kamu menarik tanganku untuk pertama kalinya di titik nol kilometer, aku masih ingat kita ke bukit bintang dan kamu sakit perut, aku masih ingat ketika kita makan di restoran mahal tapi kita tidak bawa uang, aku masih ingat kita menari di pentas musik akhir tahun, aku masih ingat ketika malam-malam kita keliling hanya untuk mencari pocky, aku masih ingat bensin motor habis ditengah malam sepulang dari alun-alun kota lalu kita tertawa selama jalan kaki mendorong motor, aku masih ingat semuanya yang tak bisa disebutkan satu-satu... aku masih ingat.....
Rik, Lalu akhirnya kisah kita menjadi begitu berliku.
Rik, apa kabar? 
Apa kamu masih ingat semua itu?
Listen to:
Two Feet – Love is a Bitch
Bersambung.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar