POCKY dan KUACI #1
Aku tersenyum, mengingat
potongan-potongan wajahmu dan ku lukiskan di langit. Senyummu begitu indah,
sampai aku ingin mengantonginya lalu ku bawa pulang ke rumah. Sumpah, Kamu
begitu Indah.
Kamu begitu indah.
***
Sekitar pukul 4 sore tadi, aku
bertemu dengan seorang pria. Dia adalah kakak kelasku, wakil ketua OSIS juga,
jago sekali bermain bulu tangkis. Aku sebelumnya tidak pernah berbicara dengan
dia, dia pun mungkin tidak tahu siapa aku. Kita beda angkatan, dan beda
kegiatan sekolah. Dia memilih OSIS sedangkan aku memilih menjadi anak KIR.
Tidak terlalu banyak perempuan yang meliriknya, karena ketua OSIS ku gantengnya
minta ampun. Tapi itu yang membuatku tertarik kepadanya, dia sama sekali tidak
pernah tebar pesona. Tapi kok, entah mengapa aku terpesona.
Saat majalah sekolah ingin mengulas
tentang Bulu Tangkis, dengan cepat aku mengajukan diri untuk meliput Mas Hari.
iya, Namanya Hari. Ketua KIR ku langsung setuju dan disinilah aku, kembali ke
kelas setelah selesai mewawancarai Mas Hari di Taman Baca Sekolah. Aku duduk
lalu membuka buku kecilku, hasil wawancara tadi. Lalu aku ingat sepotong-potong
candaan dari Mas Hari,
“Kok kamu mirip artis ya?”
Aku melongo, “Hah?” Wajahku memerah.
“Eh iya, namamu siapa tadi?”
Aku memperbaiki posisi duduk, “Anu
Mas, nama saya Rainy.”
“Oh kamu lahir pas hujan ya?”
“Ah?....”
Mas Hari tersenyum. “Maaf maaf,
bercanda kok.”
Jantungku berdegub dengan kencang.
Jawabanku hanya Hah? Ah? Eh? Ahaha... Hm, Belum pernah aku lihat Mas Hari
senyum seperti itu.
“Duh kok aku grogi ya?” Kata Mas Hari
ditengah perbincangan.
“Maaf mas... santai aja ya mas...” Ucapku,
namun dalam hati berteriak, Ah Gimana si!
Aku yang lebih grogi tau!.
“Eh, mau Pocky?” Tawar Mas Hari
sambil mengeluarkan pocky dari balik tasnya.
Aku hanya tersenyum, dan
mengisyaratkan tidak usah. Tapi Mas Hari malah tertawa,
“Ga ada cewe yang ga suka pocky loh!”
Kata Mas Hari sambil mengigit 3 stick sekaligus. “Kalau aku ini makan pocky
bukan karena aku cewe, tapi biar ga
grogi.” Lanjutnya ringan.
Aku tetap bertahan tidak ingin
mengambilnya, selain karena malu, tapi aku juga tidak mau memperlihatkan Mas
Hari ekspresi wajahku yang acak-acakan jika makan sesuatu.
Aku tersenyum-senyum lagi mengingat
kejadian tadi. Rumor yang beredar bahwa Mas Hari itu cerewet benar adanya,
namun entah mengapa aku merasa Mas Hari terasa teduh dan nyaman. Sampai lupa
kalau aku benar-benar baru pertama kali berbicara dengannya, dia membangun
suasana yang nyaman meski dengan orang baru sepertiku. Oh iya, satu kejadian
lagi yang membuatku deg-degan sampai sekarang, saat wawancaranya telah selesai
dan Mas Hari hendak izin pulang duluan.
“Oh ya, Makasih ya Rania. Aku pulang
duluan.”
“Ah? Namaku bukan Rania mas... hehe”
Jawabku.
Ah, memang banyak yang salah ingat
namaku.
“Ahaha... sengaja. aku tau kok, Hujan
kan?” Sambung Mas Hari.
“Eh?... “ Dia sengaja? Jadi tidak salah ingat? Wajahku benar-benar memerah.
“Makasih Mas Hari....” sambungku.
“Yes Rainy.” Jawab Mas Hari sambil
tersenyum begitu manis.
***
Aku masih ingat pertemuan pertama
kita. Obrolan pertama kita di taman baca itu. aku juga masih ingat kenapa sampai
sekarang kamu memanggilku dengan sebutan “Hujan” sedangkan aku memanggilmu Riku
atau Rik. Meskipun panggilan “Hari” sepertinya lebih bagus.
“Eh, Si Hujan?” Sapamu di parkiran
saat hendak pulang.
Aku tersentak. Kuaci-kuaci pemberian
Gina-teman kelasku terhambur diudara karena aku menabrak motor yang terparkir,
saking kagetnya. Aku lalu memungutnya dengan cepat. Malu sekali.
“Kok banyak banget kuacinya?” Tanyamu
dan langsung membantuku memungutnya diatas aspal parkiran sekolah.
Lagi-lagi aku lupa untuk menjawab,
mendengar suaramu yang berat dan sexy(?) ah
pokoknya cowok banget, membuatku terpana-pana. Aku mengangkat wajahku,
melihatmu sedang memungut kuaci dengan cekatan. Cahaya matahari sore seakan
hanya menyoroti wajahmu yang sederhana namun sangat memikat bagiku. Lalu
wajahmu melihatku, matamu terpantul cahaya sore, kamu tersenyum. Oh astaga,
jantungku tidak karuan. Rasanya berdetak begitu cepat, lebih cepat dari
biasanya. Wajahmu seakan terlalu bersinar membuat aku membeku hebat. Dan Kok,
berubah jadi ganteng banget ya sore ini?
Kamu masih tersenyum, kemudian
memberiku empat bungkus kuaci yang berhasil kamu pungut. Kamu... menyihir aku.
“Ma..Makasih...” Jawabku
terbata-bata.
“Kamu suka kuaci?” tanyamu. Lalu kita
berdiri dan saling berhadapan.
“Eng... engga juga sih. Tapi temanku
membeli kuaci-kuaci ini di luar negeri. Jadi aku meminta banyak. Katanya
enak... mau?” Kataku lancar dan percaya diri, entah mengapa mengalir begitu
saja padahal aku begitu gugup.
“Hahah.. apa kuaci bisa ngebuat aku
ga grogi?”
Aku terdiam, bingung.
“Karena aku selalu grogi depan kamu.”
Jawabmu enteng.
Blaaaaassssssssssss. BLAAASSSSS!!!
Sekujur tubuhku membeku. Aku bahkan
tidak tahu harus jawab apa. Wajahku sangat panas, memerah. Seakan-akan ada
bunga yang mekar disela-sela otakku. Aku tidak tahu tapi sepertinya jantungku
akan bermasalah karena berdegub tidak karuan. Belum juga selesai aku mengatur
mimik wajah yang normal, tapi kamu bertanya lagi,
“Aku panggil kamu Hujan, boleh ya?”
Pintamu.
Aku hanya mengangguk. Satu sore yang
dasyat terjadi lagi. Aku masih ingat dengan jelas gestur tubuhmu, saat kamu
memakai helm, saat kamu pamit jalan duluan, lalu menoleh sedikit sebelum
benar-benar hilang dari balik gerbang sekolah. Sejurusnya kamu seakan membuat
sebuah rahasia, saat kamu menoleh, aku tahu wajahmu tersenyum begitu lebar. Tak
bisa ku pungkiri, aku begitu bahagia.
Malamnya aku lalu mengganti nama kontakmu di
handphoneku, Rikuuuu. Dari kata Hari dan Ku, Hariku, Hehe. Agar aku merasa
istimewa, dan agar Mas Hari istimewa di Handphoneku. Biar aku saja yang tahu, Rik
ga usah.
***
Sampai hari ini aku masih ingat
perasaan yang begitu dasyat ketika bertemu denganmu di sekolah. Aku masih ingat
wajahmu, masih ingat tingkahmu, masih ingat suaramu, masih ingat parfummu,
masih ingat caramu berjalan, masih ingat caramu senyum, masih ingat caramu
tertawa...
Aku masih ingat ketika kita keliling
kota semalaman sambil memakan kuaci, aku masih ingat kita nyanyi tidak jelas
sepanjang perjalanan ke pantai, aku masih ingat kamu menarik tanganku untuk
pertama kalinya di titik nol kilometer, aku masih ingat kita ke bukit bintang
dan kamu sakit perut, aku masih ingat ketika kita makan di restoran mahal tapi
kita tidak bawa uang, aku masih ingat kita menari di pentas musik akhir tahun, aku
masih ingat ketika malam-malam kita keliling hanya untuk mencari pocky, aku
masih ingat bensin motor habis ditengah malam sepulang dari alun-alun kota lalu
kita tertawa selama jalan kaki mendorong motor, aku masih ingat semuanya yang
tak bisa disebutkan satu-satu... aku masih ingat.....
Rik, Lalu akhirnya kisah kita menjadi
begitu berliku.
Rik, apa kabar?
Apa kamu masih ingat semua itu?
Apa kamu masih ingat semua itu?
Listen to:
Two Feet – Love is a Bitch
Bersambung.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar