Gadis Kecil yang suka merangkai kata
Blogaholic Designs”=

Followers

Yang Nyangkut :D

SURE!

SURE!

Kamis, 08 Februari 2018

orange lalu senyap



Dia, lelaki yang selalu bilang langit itu luas sekali. Tak terbatas, sejauh mata memandang keatas, hanya ada langit, langit, dan langit. Mungkin karena itu sih, waktu itu aku selalu memandang ke langit ketika sedang gundah. Karena langit tak bertepi, siap menampung segala kegelisahan hati.
Pagi hari di tengah bulan November, aku ingat sekali dia datang kerumahku membawa setangkai bunga mawar biru. Katanya, itu sangat spesial. Karena apa? Katanya langka, susah dapatnya. Tapi alasan lainnya, karena dia bilang aku suka warna biru. Padahal, enggak tuh.
“Kamu tuh kalau lagi bawa motor jangan ngeliat langit melulu. Mentang-mentang warna biru.” Ocehnya ditengah siang bolong akhir bulan Desember. “Kan jatoh!” Lanjutnya.
“Siapa yang liat langit, orang ditabrak dari belakang!” jawabku ketus saat turun dari motor, diantar pulang oleh dia.
“Yaudah, berarti orang yang dibelakangmu yang lagi ngeliat langit, dasar tuh orang! Mentang-mentang warna biru.” Katanya sambil memarkir motor di halaman rumahku.
 “Ihhh apaan sih, muka serius gitu tapi bicaranya becanda mulu.”
Aku masih ingat sekali, hari itu dia membersihkan luka ku yang ada di kaki dan tangan. Meskipun mulutnya tidak bisa berhenti mengoceh, tapi dia tetap melakukannya dengan hati-hati. Dia pulang sekaligus pamit untuk liburan tahun baru. Aku cuma senyum, tidak sekalipun aku menjawab iya atau tidak.
Awal Februari di tahun ini, dia datang membawa mawar berwarna orange. Ada beberapa tangkai, tapi tidak semuanya berwarna orange. Katanya, ada yang lebih cantik dari langit biru, yaitu iya, langit berwarna orange.
Sampai sekarang aku tidak mengerti, kenapa dia tetap beranggapan kalau aku suka langit, dan warna biru.
“Liat langit pas lagi magrib deh, cuantek sekali!” kata dia sambil memasang sepatunya, sudah pamit pulang.
Waktu itu aku berdiri di pintu. “Sudah sering kale.”
“Selain luas, langit itu ternyata unik ya!”
“kamu kayak anak SD deh”
“Hm... tapi masih ada satu yang belum ku teliti.”
“Apa?”
“Langit malam yang gelap gulita itu.”
“ih nih anak, mukanya serius amat tapi bicaranya becanda mulu!”
Dia pulang.
Akhir bulan Maret, hampir tengah malam, kami akhirnya bertamu lagi setelah kejadian langit orange itu. Dia terlihat sangat muram, tidak membawa bunga, naik motor jadulnya, rambut acak-acakan dengan pakaian serba hitam.
“Kamu abis layat?” tanyaku.
Dia hanya diam.
“Kamu kenapa sih?”
Dia melirikku sedikit. “Kalau sama langit malam, jangan. Senyap, kejam. kamu bisa nangis.” Dia diam sejenak. “kalaupun ingin sekali menatapnya, jangan sampai menangis.”
Aku menghela napas panjang. “Tapi kan... ada bintang...”
Aku mencoba untuk mengatakan hal yang ‘mungkin’ seperti meresponnya. Aku buntu untuk mengatakan hal yang lainnya.
“Aku pamit dulu.”
“LOH?” aku sangat kaget, belum cukup tiga menit, dia meminta pulang.
Dia tidak menanggapi, terus berjalan ke motornya. Apaan sih? Dia menyalakan mesin, tanpa menoleh. Aku mengerutkan kening. Kesal! Sangat-sangat kesal!. aku juga kecewa, sih.
Itulah terakhir kali aku bertemu dengannya, di akhir bulan Maret 2010, hampir tengah malam. Hm.... Dia dengan sejuta ocehannya yang masih ku ingat, mulai menguap ke langit-langit bumi. Sejak itu saat malam aku memandang ke langit, mencari-cari dimana dia berada, tapi senyap. Tidak ada apa-apa. benar selain air mata di pipi.
Awal bulan April, akhirnya aku mendapat kabar tentang dia. Dia yang katanya akan menikah. Aku diam. Lalu aku tersenyum sendiri, aku ingat kok, dia bilang akan menikah jika waktunya sudah tiba, tapi dia bilang lagi, waktu itu tidak akan datang. Aku tahu dia membuat kabar palsu untukku.
Pagi-pagi buta esoknya, aku mengemas beberapa pakaian, bersiap untuk ke Solo, tanah kelahirannya. Aku masih tersenyum. Aku pamit ke orangtua, naik motor sampai stasiun. Aku tidak bisa menahannya lagi. Di kereta aku menangis. Kenapa kamu begitu, sih?
“Langit itu luas banget yak! Kalau liat keatas pas dijalan, rasanya cuma ada langiiiiiiiit aja.” Katanya riang.
“Hm mulai deh”
“Suatu saat kita akan kembali kesana, kan?”
“Udah deh, fokus menyetir.” Aku mencubit kecil perutnya.
***
Harjunat Dwi Angkasa
Kau meninggalkanku ketika langit orange sudah pudar. Malam menemamu kembali ke langit. Lalu karenanya kau membenci langit malam, namun tetap izin sebentar dalam perjalanmu itu untuk datang kepadaku. Kau memberitahuku kalau aku tidak boleh menatap langit yang gelap itu. kalaupun menatapnya, aku harus menahan air mata yang ingin jatuh.
Tapi bagaimana mungkin, sedang langit malam itu memang sudah senyap, sangat sepi. Bagaimana bisa seorang perempuan yang hatinya sedang sangat hancur, tidak menangis saat melihat langit malam?
Pokoknya tenanglah kau! Tapi argh! Kau bodoh! Katanya jangan melihat langit kalau sedang bawa motor, tapi kenapa hanya demi melihat langit orange itu, kau mempertaruhkan nyawamu?
Bodoh!
Dan aku rindu, lalu menangis, lalu sakit. Langit yang maha luas pun tidak mengerti, betapa meyakitkannya jika sakit itu di hati. langit yang maha luas pun akhirnya tidak cukup, untuk menampung segala kalimat kemarahan yang terlontar dari hati yang patah.