Dia,
lelaki yang selalu bilang langit itu luas sekali. Tak terbatas, sejauh mata
memandang keatas, hanya ada langit, langit, dan langit. Mungkin karena itu sih, waktu itu aku selalu memandang ke
langit ketika sedang gundah. Karena langit tak bertepi, siap menampung segala
kegelisahan hati.
Pagi
hari di tengah bulan November, aku ingat sekali dia datang kerumahku membawa
setangkai bunga mawar biru. Katanya, itu sangat spesial. Karena apa? Katanya
langka, susah dapatnya. Tapi alasan lainnya, karena dia bilang aku suka warna
biru. Padahal, enggak tuh.
“Kamu
tuh kalau lagi bawa motor jangan ngeliat langit melulu. Mentang-mentang warna
biru.” Ocehnya ditengah siang bolong akhir bulan Desember. “Kan jatoh!”
Lanjutnya.
“Siapa
yang liat langit, orang ditabrak dari belakang!” jawabku ketus saat turun dari
motor, diantar pulang oleh dia.
“Yaudah,
berarti orang yang dibelakangmu yang lagi ngeliat langit, dasar tuh orang! Mentang-mentang
warna biru.” Katanya sambil memarkir motor di halaman rumahku.
“Ihhh apaan sih, muka serius gitu tapi bicaranya
becanda mulu.”
Aku
masih ingat sekali, hari itu dia membersihkan luka ku yang ada di kaki dan
tangan. Meskipun mulutnya tidak bisa berhenti mengoceh, tapi dia tetap
melakukannya dengan hati-hati. Dia pulang sekaligus pamit untuk liburan tahun
baru. Aku cuma senyum, tidak sekalipun aku menjawab iya atau tidak.
Awal
Februari di tahun ini, dia datang membawa mawar berwarna orange. Ada beberapa
tangkai, tapi tidak semuanya berwarna orange. Katanya, ada yang lebih cantik
dari langit biru, yaitu iya, langit berwarna orange.
Sampai
sekarang aku tidak mengerti, kenapa dia tetap beranggapan kalau aku suka
langit, dan warna biru.
“Liat
langit pas lagi magrib deh, cuantek sekali!” kata dia sambil memasang sepatunya,
sudah pamit pulang.
Waktu
itu aku berdiri di pintu. “Sudah sering kale.”
“Selain
luas, langit itu ternyata unik ya!”
“kamu
kayak anak SD deh”
“Hm...
tapi masih ada satu yang belum ku teliti.”
“Apa?”
“Langit
malam yang gelap gulita itu.”
“ih
nih anak, mukanya serius amat tapi bicaranya becanda mulu!”
Dia
pulang.
Akhir
bulan Maret, hampir tengah malam, kami akhirnya bertamu lagi setelah kejadian
langit orange itu. Dia terlihat sangat muram, tidak membawa bunga, naik motor
jadulnya, rambut acak-acakan dengan pakaian serba hitam.
“Kamu
abis layat?” tanyaku.
Dia
hanya diam.
“Kamu
kenapa sih?”
Dia
melirikku sedikit. “Kalau sama langit malam, jangan. Senyap, kejam. kamu bisa
nangis.” Dia diam sejenak. “kalaupun ingin sekali menatapnya, jangan sampai
menangis.”
Aku
menghela napas panjang. “Tapi kan... ada bintang...”
Aku
mencoba untuk mengatakan hal yang ‘mungkin’ seperti meresponnya. Aku buntu
untuk mengatakan hal yang lainnya.
“Aku
pamit dulu.”
“LOH?”
aku sangat kaget, belum cukup tiga menit, dia meminta pulang.
Dia
tidak menanggapi, terus berjalan ke motornya. Apaan sih? Dia menyalakan mesin, tanpa menoleh. Aku mengerutkan
kening. Kesal! Sangat-sangat kesal!. aku juga kecewa, sih.
Itulah
terakhir kali aku bertemu dengannya, di akhir bulan Maret 2010, hampir tengah
malam. Hm.... Dia dengan sejuta ocehannya yang masih ku ingat, mulai menguap ke
langit-langit bumi. Sejak itu saat malam aku memandang ke langit, mencari-cari
dimana dia berada, tapi senyap. Tidak ada apa-apa. benar selain air mata di
pipi.
Awal
bulan April, akhirnya aku mendapat kabar tentang dia. Dia yang katanya akan
menikah. Aku diam. Lalu aku tersenyum sendiri, aku ingat kok, dia bilang akan menikah jika waktunya sudah tiba, tapi dia
bilang lagi, waktu itu tidak akan datang. Aku tahu dia membuat kabar palsu
untukku.
Pagi-pagi
buta esoknya, aku mengemas beberapa pakaian, bersiap untuk ke Solo, tanah
kelahirannya. Aku masih tersenyum. Aku pamit ke orangtua, naik motor sampai
stasiun. Aku tidak bisa menahannya lagi. Di kereta aku menangis. Kenapa kamu
begitu, sih?
“Langit itu luas banget yak! Kalau liat
keatas pas dijalan, rasanya cuma ada langiiiiiiiit aja.” Katanya riang.
“Hm mulai deh”
“Suatu saat kita akan kembali kesana,
kan?”
“Udah deh, fokus menyetir.” Aku mencubit
kecil perutnya.
***
Harjunat
Dwi Angkasa
Kau
meninggalkanku ketika langit orange sudah pudar. Malam menemamu kembali ke
langit. Lalu karenanya kau membenci langit malam, namun tetap izin sebentar
dalam perjalanmu itu untuk datang kepadaku. Kau memberitahuku kalau aku tidak
boleh menatap langit yang gelap itu. kalaupun menatapnya, aku harus menahan air
mata yang ingin jatuh.
Tapi
bagaimana mungkin, sedang langit malam itu memang sudah senyap, sangat sepi.
Bagaimana bisa seorang perempuan yang hatinya sedang sangat hancur, tidak
menangis saat melihat langit malam?
Pokoknya
tenanglah kau! Tapi argh! Kau bodoh!
Katanya jangan melihat langit kalau sedang bawa motor, tapi kenapa hanya demi
melihat langit orange itu, kau mempertaruhkan nyawamu?
Bodoh!
Dan
aku rindu, lalu menangis, lalu sakit. Langit yang maha luas pun tidak mengerti,
betapa meyakitkannya jika sakit itu di hati. langit yang maha luas pun akhirnya
tidak cukup, untuk menampung segala kalimat kemarahan yang terlontar dari hati
yang patah.