Hari
ini mungkin hari yang berat untuk dia. Tapi aku yakin aku sudah melakukan hal
yang benar demi kebahagiaannya. Tadinya aku sudah punya modal untuk membuatnya
tersenyum setiap hari, tapi kini kurasa itu saja tidak cukup. Aku harus punya
suatu hal yang dapat membuatnya tertawa.....
Inilah
aku,
berjalan
menyusuri kota ditemani sang rembulan,
menatap
setiap langkah yang ku ambil,
dan
aku,
Tidak
punya hal itu.
Mengapa?
***
Laras
terus berkutit dengan soal Fisika yang ‘katanya’ bakal keluar sebagai soal UTS
nanti. Saking seriusnya, Laras tidak sadar kalau McFlurry yang sangat amat dia
cintai itu mulai berubah menjadi susu cair. Bukankah Mcflurry enaknya dimakan
pas belum mencair?
Kuperhatikan Laras, dia sebenarnya sama sekali tidak mirip dengan kakaknya,
Liska. Tapi mereka berdua sama-sama memesona, putih, bibir mereka merah alami,
hidung mereka mancung, dan tentunya mata
mereka sama-sama menghayutkan hati. Tapi, Laras punya lesung pipit dikedua
pipinya, sedangkan kak Liska punya tahi lalat di dagu yang terlihat terbelah. Sejauh ini, yang aku tahu Laras sangat manis dan Kak Lista sangat cantik.
“Arkan,
kira-kira kalo soal yang ini nanya waktu A-C atau waktu A-B? Aku bingung banget
sama soal ini, bingung rumus yang mana, kan.”
Laras
menyadarkanku. Aku memperbaiki posisi dudukku lalu melihat kertas yang
disodorkan Laras. “nah kan yang ditanya waktu benda sebelum menumbuk tanah,
berarti pake rumus yang pertama aja.”
Laras
mengangguk. “Eh, anterin aku pulang yah? Soalnya sekarang udah jam...” Laras
melihat jam tangannya. “ sembilan lewat tujuh belas... aku takut naik motor
sendirian. Entar kita beriringan yah?”
Aku
mengangguk gembira. Hitung-hitung bisa ketemu sama Kak Lista yang cantik.
“Kok
kamu senyum-senyum?” Tanya Laras sambil merapikan kertas-kertas diatas meja.
“Hayoo... kamu seneng kan pulang bareng aku???”
Aku
tidak menjawab. Sama sekali tidak perlu dijawab. Laras memang begitu, selalu
ke-GR-an. Sejak kami satu SMP, sampai satu universitas, Laras selalu kepedean.
“Yuk
capcuss.” Kataku menarik lengan Laras.
Aku
beriringan dengan Laras sepanjang perjalanan. Kami menceritakan banyak hal.
Termasuk orang yang sekarang kami suka. Laras bilang, dia lagi kagum dengan
laki-laki yang sudah dia kenal sejak SMP. Katanya, sekarang dia dengan lelaki
itu menjadi teman dekat. Saking dekatnya, Laras takut untuk mengutarakan
perasaannya yang mungkin saja berujung pada perpisahan.
Aku
sedikit Ke-GR-an saat Laras bercerita, tapi giliran aku bercerita, aku juga
mengatakan hal yang sama. Aku menyukai seorang gadis yang ku kenal sejak aku
SMP. Dia sangat cantik dan cerewet. Aku tidak tahu ini perasaan yang wajar atau
tidak, tapi aku merasa tidak pantas dengan gadis tersebut.
Laras
tertawa mendengar ceritaku, seketika wajahnya berubah menjadi merah. Aku tidak
tahu kenapa dia menjadi salting. Apa dia ke-GR-an LAGI?
***
Aku
sampai dirumah Laras. Sudah jam sembilan lewat empat tujuh. Tapi ibunya
menyuruhku untuk masuk dulu minum teh dan sepertinya sebentar lagi akan hujan.
Aku menuruti permintaan Beliau. Tak lama kemudian Kak Lista datang membawa tiga cangkir
teh hangat.
“Ayo
minum Arkan...” Kata Kak Lista.
“Iya
Mbak.. makasih.” Jawabku tersenyum manis.
Kak
Lista lalu duduk disampingku. Jantungku berdegup kencang. Tanganku mulai
gemetaran. Aku tau ini salah, tapi aku tidak bisa menolaknya!
“Mbak,
mau kemana? Kok pakaiannya rapih sih?” Tanya Laras sehabis menenguk teh hangat.
“Oh...
Lista mau nginep di rumah Eang Pundi, Eang kan sakit... bentar lagi Elgio
datang jemput Lista...” jawab Ibu Laras.
Elgio,
seorang lelaki mapan yang katanya sebentar lagi akan menikahi Kak Lista. Mereka
akan ke rumah Eang pundi, nenek Laras yang sedang sakit parah. Tiba-tiba hatiku
yang tadinya berdegub tak karuan kini seketika remuk.
Aku
menoleh ke arah jendela, tak terasa, ternyata sudah hujan. Dan diluar pagar
ada sebuah mobil, aku yakin itu mobil Kak Elgio.
Benar
saja, Kak Lista langsung pamit pergi, dan aku, menjadi khawatir.
“Arkan?
Minum tehnya nak.” Kata Ibu sesaat setelah Kak Lista pergi.
Aku
mengangguk dan segera meminum teh itu.
“Arkan...
kamu sudah tahu tidak? Kalau Laras ini... mau di jodohkan dengan anak
kedokteran, namanya Trias.” Lanjut Ibu Laras.
Laras
sontak terkejut. Akupun begitu, aku sangat terkejut. Ternyata, Laras akan
dijodohkan?
“Bu,
kok ibu tidak pernah bilang sama Laras?” Jawab Laras gelisah.
Aku
hanya bisa diam. Meskipun aku merasa tidak rela, tapi aku harus tetap terlihat
tegar didepan Laras dan Ibunya. Ini urusan keluarga mereka, dan aku tidak bisa
mencampurinya.
“Ayolah
Laras, jangan kayak anak-anak. Lagian, sampai sekarang kamu tidak punya pacar
kan?” Kata Ibu.
Raut
wajah Laras berubah seketika. Tiba-tia ia melirik ke arahku, seperti meminta
sesuatu. Aku tidak peka apa yang diminta Laras. Tapi mungkin dia ingin bilang
kalau aku adalah calonnya?
“Bu...
aku punya pacar kok!” Belanya setelah tahu aku hanya diam.
“Mana?
Siapa? Jangan mengada-adakan sesuatu yang tidak ada Laras. Kita liat yang
jelas-jelas saja, ada Trias! Yang mapan, yang bisa membahagiakan kamu!” Bantah
Ibu. “Benar kan nak Arkan?”
“Iii...
iii.. iya bu. Benar, benar kata Ibu.” Jawabku kaku.
Laras
menatapku sinis. Tapi, seperti ada unsur kekecewaan disana. Aku menjadi tidak
enak dalam suasana kali ini, aku lalu memutuskan untuk pulang. Ibu Laras
berpesan untuk hati-hati, apalagi diluar masih hujan. Aku mengiyakan lalu berlari
kecil ke halaman rumah Laras sambil menutupi kepalaku dengan jaket parasut
hitamku.
“Arkan!!!”
Teriak Laras dari ambang pintu rumahnya.
Aku
menoleh. Laras lalu menghampiriku tanpa memakai payung.
“Masuk
sana! Entar kamu sakit!” Teriakku agar Laras dapat mendengar suaraku diantara
suara hujan ini.
“Engga
mau!”
“Kenapa
sih?!”
“Kok
kamu rela aku dijodohkan? Kamu kan tahu kalau aku lagi suka sama seseorang!”
“Lah?
Aku kan tidak punya hak atas kamu.”
“Tapikan,
Ibuku kira aku tidak punya makanya dia mau menjodohanku!”
“Kamu
yakin karena itu ibumu menjodohkanmu?”
“Iya!
Kenapa tadi kamu tidak mengaku saja sebagai pacarku? Aku kan sukanya sama kamu, seperti kamu yang juga suka sama aku! Iya, kan?”
“Apa?”
Jawabku kaget.
“Tadi,
perempuan yang kamu ceritakan sepanjang perjalanan pulang itu aku kan!?”
Aku
terdiam. Aku tidak tega. Aku tidak bisa menjawab ini.
“Arkan!
Jawab aku!”
Aku
masih diam. Sekarang aku merasakan air hujan ini sangat dingin.
“Arkan!
Kamu suka sama aku kan? Perempuan diceritamu tadi itu aku kan!?”
Aku
melihat Laras yang sudah basah kuyup. Aku semakin tidak rela terhadapnya. Ya
Tuhan... aku seperti ingin memeluknya!
“Laras...”
"Bilang Arkan kalau perempuan itu aku!"
aku semakin tidak tega.
"Masuk sanaa, kamu sudah basah begini!"
"Ga mau sebelum kamu jawab pertanyaan aku!"
aku menatap Laras dalam...
"Laras..."
Lara mengatupkan mulutnya
“Tapi
bukan kamu...” Jawabku lirih.
Laras
masih terdiam.
Diam dengan ekspresi yang tidak bisa aku baca. Wajahnya memerah. Aku tidak tahu, apakah Laras sedang menangis atau
bagaimana. Aku tidak bisa membedakan air hujan dengan air matanya. Dia masih
diam, kaku seperti patung.
“Laras....”
Panggilku pelan lalu mencoba meraih tangannya.
Namun
iya hempaskan. “Lalu siapa Arkan? Siapa?”
“Laras...
aku.... suka... aku suka sama... Mbak Lista..” Jawabku akhirnya.
Laras
tercengang. “Jadi, orang yang kamu maksud kamu kenal sejak SMP itu, kakakku?
Bukan aku?”
Aku
hanya diam. Melihat diamku, Laras langsung pergi dan masuk kedalam rumahnya. Aku
terdiam.
Aku terdiam di bawah hujan yang deras.
***
“Mbak
Lista, Laras sudah tahu... mungkin sejak hari ini Laras akan membenciku dan
menjauhiku...”
“Baguslah...
kamu memang sahabat terbaik. Jadi, sekarang kamu dimana? Sudah jam sebelas
loh...” Jawab Kak Lista dari ujung telepon.
“Aku
belum pulang ke Kost mbak... takut di ejek sama temenku. Soalnya mataku masih
merah...”
“Oh,
habis nangis yah? Kenapa nangis? Jadi Laras tahu kamu nangis?”
“Ga
kok Mbak... untung tadi masih hujan... jadi Laras ga tau kalau aku nangis...”
“Yaudah...
maafkan mbak yah Arkan. Tapi ini demi kebaikan Laras. Kamu tahukan Eang Pundi
lagi sekarat, dan permintaannya pengen punya cucu dokter sebelum dia meninggal.
Trias adalah lelaki terbaik untuk Laras...”
“Iya
Mbak, aku juga merasa tidak pantas kok. Mulai sekarang aku akan melupakan
Laras...”
“Yasudah...
kalau begitu, Mbak mau tidur dulu yah.”
“Iya
Mbak...”
“Oke...”
“Eh
eh mbak tunggu sebentar,”
“Kenapa
Arkan?”
“Tolong
beritahukan kepada Trias....”
“Apa?”
“Kalau
dulunya ada lelaki yang sangat mencintai Laras sejak SMP sampai kuliah...
lelaki itu mampu membuat Laras tersenyum sepanjang hari... tapi, lelaki itu
tidak pernah ada kesempatan untuk mengutarakan yang sejujurnya kepada Laras.
sebab itu, ia minta tolong, bahagiakan Laras, buat dia tertawa, jangan
sia-siakan Laras. Karena... ada sejuta lelaki yang menginginkan Laras. Termasuk
lelaki itu... namanya Arkan.”
Aku
tidak sadar dengan apa yang ku katakan. Tapi kurasa, itulah yang aku rasakan
saat ini. Sakitnya sangat sakit. Ternyata orang yang aku kagumi, aku sayangi
selama sebelas tahun ini, bukanlah jodohku meskipun ia juga ternyata
menyayangiku.
Hari
ini mungkin hari yang berat untuk dia, untuk Laras. Tapi aku yakin aku sudah
melakukan hal yang benar demi kebahagiaannya. Tadinya aku sudah punya modal
untuk membuatnya tersenyum setiap hari, tapi kini kurasa itu saja tidak cukup.
Aku harus punya suatu hal yang dapat membuatnya tertawa.....
Inilah
aku,
berjalan
menyusuri Kota ditemani sang rembulan,
menatap
setiap langkah yang ku ambil,
dan
aku,
Tidak
punya hal itu.
“Arkan...
aku sangat tersentuh mendengar kata-katamu. Semoga kelak kamu akan dipertemukan
dengan wanita yang lebih baik. Amin...” Jawab Kak Lista setelah diam beberapa
detik.
“Aamiin
mbak... yasudah, salam sama Laras ya Mbak kalau Mbak sudah pulang ke rumah.
Assalamualaikum.”
“Oke..
Walaikumsalam Arkan.”
Klik.
Aku
baru sadar, inilah yang dinamakan ‘kita tidak jodoh’. Meskipun aku sudah sangat
mencintai Laras, tapi jika Tuhan berkata tidak, maka Laras bukanlah jodohku.
Seandainya cinta itu indah....