Diam-Diam…
Di seberang jalan disana,
seseorang berdiri dengan tegapnya. Memegang sebuah handphone dengan bibirnya
yang melengkung membentuk sebuah senyuman manis. Jarinya tak henti mengetikkan
sebuah kata yang entah apa.
Sesekali ia melihat kedepan, namun
jika handphonenya berbunyi singkat lagi, ia akan melihatnya dengan segera. Tak
lupa, ia pasti tersenyum.
Sebenarnya aku ingin berjalan ke
arahnya. Lalu berdiri di sampingnya. Sekadar mengatakan “hai” kepadanya atau
mungkin hanya untuk melihatnya lebih dekat lagi.
Tapi, ada sesuatu dari bagian
tubuh yang selalu mengatakan jangan! Ada-ada
saja hal yang membuat hati aku ragu. Aku kaku.
Lalu sekali lagi ku lihat lelaki
itu dari seberang sini. Ku pegang erat tali tasku. Menggigit bibir bawahku. Aku
cemas. Aku cemas. Dan aku takut.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat. Ku tatap
tanah yang ku injak. Ku hentakkan kaki sekali. Ah! Bodoh! Masa untuk sekadar menyapa saja tidak bisa? Aku benci terhadap
ketakutan dalam hati ini.
Setelah kesekian menit berlalu,
aku meyakinkan diri. Aku akan melangkah maju, berdiri disampingnya, dekat
dengannya.
Ku angkat kepala ini. aku melihat
kearah tempat tadi. Namun… ada sesuatu yang hilang. Aku berusaha mencari, aku
menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun hanya kendaraan yang berlalu lalang, tanpa
ada dia, tanpa ada lelaki tadi.
Kemana dia?
PLAK!
Hatiku berdegup dengan kencang. Seiring
mataku mulai berat. Tidak sadar aku sedang memukuli dadaku sendiri. Rasanya sakit.
Setelah dia pergi, ternyata aku
juga merasa ada sesuatu yang pergi dariku. Aku mencoba mencari apa itu. aku
mencoba mengingat bagian dalam tubuh ini. aku coba untuk mendefinisikan
perasaan yang aku rasa saat ini.
Ah, air mata ini berhasil
mengingatkanku.
Setelah dia pergi, aku baru
tersadar.
Setelah dia pergi, aku baru
teringat.
Setelah dia pergi, dan tak
kunjung kembali, aku baru merasa.
Setelah aku hanya bisa melihatnya
dari jauh, aku baru tau,
Ternyata, aku sangat
merindukannya.