Seharusnya.
Seandainya.
Semestinya.
***
Pagi itu aku
melihatmu membawa setumpuk kertas dari ruangan dosen. Akhirnya, aku
mendapatkanmu setelah berputar-putar dalam gedung. Wajahmu tampak kusut, bajumu
berantakan dan langkahmu tidak beraturan. Aku diam, awalnya ingin menyapamu,
ingin bertanya kabar, lalu menjelaskan semua yang tejadi, tapi tiba-tiba takut.
Perlahan, aku berjalan di belakangmu. Tanpa kamu sadari, kamu terus berjalan
sampai menaiki tangga. Namun langkahmu tiba-tiba tidak seimbang, sedetik
kemudian kamu jatuh dan kertas berterbangan di udara.
“SIAL!!!” katamu.
Langkahku seketika
terhenti tepat di kaki tangga, aku kaget. Matamu lalu tertuju padaku, kaget,
tapi tanpa pikir panjang kamu memalingkannya dan memungut kertas-kertas itu di
lantai. Beberapa lembar jatuh sampai kakiku. Matamu menatap kertas di kakiku,
lalu mengarah melihat wajahku.
“Kemana saja?”
Aku menelan
ludah. Aku sudah menduga kalau kamu akan
bertanya seperti ini.
“Kalau tidak
bisa jawab, berikan saja kertas itu.” sambungnya.
Aku diam. Aku melihatnya
lekat-lekat, oh sungguh aku rindu dengan tatapan itu. Tapi aku tidak tahu harus
bagaimana, jadi aku menunduk, mengambil kertas di kakiku. Tanganku gemetar, rinduku
benar-benar menguras tenagaku. Aku memberikannya dengan sisa tenaga yang aku
miliki. Tanganku bergantungan di udara, kamu hanya melihat kertas itu, tanpa
berniat mengambilnya.
“Benar tidak
bisa jawab?” Tanyamu lagi.
Aku merasa
mataku mulai panas, aku menahan untuk tidak menangis. Aku tidak tahu kenapa aku
hanya bisa diam. Padahal aku sudah menyusun kalimat sejak tadi malam di
kamarku. Tapi rasanya lidahku keluh saat berhadapan denganmu.
Lima detik
berlalu, kamu mengambil kertas itu.
“Kalau mau
pergi, tidak usah kembali.” Katamu tanpa sedikitpun melihatku, melanjutkan
menaiki tangga. Langkahmu terdengar menakutkan. Aku tahu dari pancaran wajahmu,
kamu begitu kecewa. Seiring langkahmu yang sudah tidak terdengar, air mataku
keluar.
Aku mengurungkan
niat untuk mengikutimu, mencari sebuah kursi yang bisa di duduki. Dadaku terasa
sesak. Kenapa aku tidak bisa ngomong? Satu kata pun tidak bisa? Kenapa aku
hanya diam saja?
Seharusnya aku
tidak begitu. Seharusnya aku ngomong yang sebenarnya terjadi dan apa yang aku
rasakan, yaitu rindu. Seandainya dapat diulang kembali, aku pasti akan
mengatakan apa yang kurasa. Ah, semestinya tidak seperti ini...
Tapi, tahukah
kamu, semalam aku terus memikirkan kamu. Bukan ini yang aku mau. Kemarin aku
benar-benar sibuk mengurus skripsiku, aku selalu ingin mengabarimu. Tapi jaringan
di desa yang aku tempati tidak memadai. Sebulan itu aku terus memikirkanmu. Aku
mengirim surat ke rumahmu, tapi tidak bisa karena tidak ada kapal yang
berangkat.
Seharusnya aku
bilang.
Aku ingin
bilang, kalau aku tidak pernah pergi.
Terlambatkah
aku untuk meminta maaf? Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu. aku hanya
tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan.
Aku menatap
tangga yang tadi, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. kamu turun
dengan wajah yang sulit aku artikan. Air mataku berlomba-lomba untuk keluar. Mengalir
begitu cepat sampai jatuh di rok yang aku kenakan.
Kamu melewatiku
begitu saja. Dadaku begitu sesak. Aku menangis. Tapi tiba-tiba aku merasakan
satu dekapan yang begitu aku kenal. Aku membuka mata. Kamu sudah membalut
tubuhku dengan tubuhmu.
“Waktu tidak
bisa diulang, aku tidak ingin menyesal karena melepas kamu.”
Kalimatmu seakan
membiusku.
“Aku tidak
pernah pergi.” Jawabku lirih.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar