Ada ragu diantara sendunya malam, disela-sela dedaunan
yang bergerak mengikuti arah sang angin. Ada bisik yang terdengar samar-samar,
diselipan doa yang mengalir megikuti arus sang sungai. Terlihat setiap atap meratapi
nasib, mengadu kepada sang Bulan, sang penguasa malam atas bintang-bintang. Senyuman
yang tertoreh, seakan memaksa untuk berkata.
“Kau akan pergi lagi? kemana kau akan pergi?” Surina tersenyum,
lalu bertanya namun tidak berani menatap Danang, bibirnya kaku namun tetap
harus bertanya.
Gelap yang menyelimuti Danang, membuat Danang bergetar
untuk menjawab.
“Apakah aku harus ikut, atau aku harus tetap sembunyi?”
Surina kembali bersua.
Mata Surina tak bisa bohong. Ada kekecewaan besar yang
menggenang disana, mungkin akan tumpah sebentar lagi.
“Surina, aku sudah bilang, kau tidak akan pernah ikut
kemanapun aku pergi.” Danang mencoba untuk
tenang.
Genangan itu tumpah seketika, Surina membalikkan
badannya, membelakangi Danang yang ketika itu duduk di kursi depan teras
rumahnya. Air matanya jatuh tidak berhenti.
Ada pengkhianatan diantara debu-debu yang terbang
diantara mereka. Bau kesakit-hatian tercium oleh keduanya. Namun Danang hanya
bisa pasrah, menikmati setiap detik suara tangisan Surina, yang bahkan
mengalahkan kerasnya suara jeritan penyesalan Danang.
“Surina, sudah seharusnya kau ikhlaskan.” Ucap Danang
terbata-bata.
“Surina, kita ini sudah berbeda.” Lanjut Danang.
“Surina, lepaskanlah aku. Tidak mungkin bagiku untuk datang
setiap malam di rumahmu. Aku takut.”
Surina membalikkan badannya. Menatap kursi kosong
didepannya, air matanya masih mengalir. Tangannya mengepal dengan kuat. Angin malam
seketika membuat semua sunyi. Surina terjatuh diatas ubin tua milik rumahnya.
“Kenapa kau selalu pergi tanpa pamit. Padahal aku ingin
katakan, kalau aku merindukanmu.” Surina berusaha mengucapkannya dengan jelas,
namun terkalahkan oleh rasa sakit di dadanya.
Bertubi-tubi ia kehilangan, berkali-kali ia
mengkhayal. Suaminya, Danang, masih hidup di dunia.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar