O M E N G
“Ada tiga hal yang tidak dapat kembali. Satu, waktu.....” Ucap Badrol.
Badriah menatap Badrol dengan mata berbinar-binar dari kursi roda yang Ia
duduki. Tangan mereka saling bertautan mengisyaratkan ada suatu hal yang sedang
Badrol katakan dengan serius.
“Kedua?” Tanya Badriah.
“Perkataan....” Badrol menghela napas. “Dan ketiga adalah, kesempatan.”
Punggung Bariah seketika lemas. Dengan harap-harap tak menentu ia membuka
mulutnya, “Ke.....kesempatan?”
“Kesempatan untuk hidup lagi.”
Dengan tatapan penuh keputus-asaan Badriah melepas tangannya dari genggaman
Badrol. Air matanya mengalir tanpa jeda tanda kekecewaannya. Mulutnya ia
bungkam. Pundaknya bergetar. Hanya suara isakan Badriah yang terdengar. Sampai Badrol
menghilang dibalik pintu rumah sakit.
***
Kams, 11 Mei 2014.
16.09 WIB
Jendela yang dipenuhi bintik-bintik air hujan, suara mesin dari mobil
berlaju kencang, kerasnya volume radio yang memutar lagu kesukaannya, dan bunyi tawa anak
laki-laki disampingnya yang sesekali memekakkan telinga membuat Badriah tersadar
dari lamunannya. Dengan cepat ia menggelengkan kepala untuk mengembalikan
ingatan.
Ia menyebar pandangan kesetiap sudut kamar. Omeng belum datang sampai jam
empat sore ini. Apa Omeng sedang sibuk?
Badriah tersenyum tipis. Omeng anak yang pemalas, suka tidur sembarangan
tempat, dan selalu menjahili adiknya, Badrol. Tapi Badriah tidak pernah
mempermasalahkan hal tersebut. Bagi Badriah, Omeng adalah laki-laki yang
tangguh dan perhatian. Bahkan sekarang Badriah sangat merindukan Omeng. Namun tak tahu bagaimana cara bertemu dengan Omeng. Apakah Badriah harus kabur dari rumah sakit? Ah, Badriah masih memikirkan cara untuk bertemu.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Laki-laki paruh baya berjas
putih mendekati Badriah dengan senyuman manis di bibirnya.
“Badriah, adikmu Badrol tadi datang. Katanya penyakit kamu kambuh lagi,
apa kau baik-baik saja?” Tanya Dokter sesopan mungkin.
Badriah membuang muka. Tak berniat menjawab pertanyaan Dokter itu.
“Badriah...”
Dokter Farid mencoba mengelus pundak Badriah pelan. Namun tak disangka
serangan tangan Badriah membuat Dokter Farid terhempas sedikit keras.
“Aku mau bertemu Omeng untuk terakhir kalinya! Sebelum itu terwujud aku
tidak mau pergi! Aku tidak mau pergi kemanapun! Aku juga tidak mau minum obat!
Aku belum mau mati! Aku tidak mau mati!”
Farid mencoba menyeimbangkan tubuhnya dan mengisyaratkan kepada suster
disampingnya untuk keluar dari ruangan.
Badriah tak tahu kenapa dirinya harus diberi cobaan berat seperti
sekarang ini. Ia tidak mau pergi secepat ini. Ia belum puas menikmati
hari-harinya bersama Omeng. Ia ingin menyalahi garis hidupnya! ia ingin bertemu Omeng!
“Badriah... Badriah... tenang. Kamu akan sembuh, kamu pasti sembuh dan bertemu Omeng jika
kamu mau minum obat.” Ucap Farid.
Badriah menggelengkan kepala. “Tidak dokter! Tidak! Kamu bohong!”
Badriah melompat dari tempat tidurnya, berlari keluar kamar tanpa peduli
infus yang terpasang di tangannya. Badriah berlari sekencang mungkin menjauhi
Dokter Farid. Badriah naik ke tangga darurat sampai lantai paling atas gedung. Matanya kagum melihat pemandangan dari atas sini. serasa otaknya tiba-tiba segar dan tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan wajah
yang pucat ia berteriak sekeras mungkin,
“OMENGGG!!!! JANGAN BIARKAN AKU PERGI JAUH DARI KAMU!!!! AKU SAYANG
KAMU!!!”
***
Kamis, 11 Mei 2014
12.07 WIB
Badrol menatap kakaknya yang duduk termenung diatas kursi rodanya. Badrol
tahu ini berat bagi Badriah tapi inilah jalan tuhan yang dipilihkan untuk
Badriah. Badrol tak tahu apa makna tatapan Badriah ke luar jendela. Tapi Badrol
tahu yang dipikirkan Badriah hanyalah suaminya, Omeng.
Badrol melirik jam dinding kamar rumah sakit itu. Sudah jam dua belas
lewat, saatnya makan dan minum obat untuk Badriah.
“Kak.... “ Panggil Badrol pelan.
Badriah diam.
“Kak.... makan buburnya yuk.” Ucap Badrol.
“Kamu bilang ada tiga hal yang tak dapat kembali, waktu, perkataan, dan
kesempatan.” Ucap Badriah. “Waktu, waktu yang mana yang kau maksudkan?”
“Waktu yang telah berlalu...”
“Perkataan, perkataan apa?”
“Perkataan yang telah diucapkan.”
“Ke... kesempatan?”
“Kak, kakak tahu kan kalau sekarang waktunya mak—“
“BADROL!!!” teriak Badriah.
“Cinta itu bukan soal memiliki kak. Cinta itu soal kepercayaan. Percayalah
dan yakinkanlah dalam hatimu, ia pasti tak akan kemana. Meski kakak dan Omeng
sudah tidak saling memiliki tapi kakak tahu kalau Omeng akan selalu menyanyangi
kakak.”
“Apa katamu?” Badriah menoleh ke arah Badrol. Menatap tajam mata Badrol. “Kamu
bilang cinta bukan soal memiliki?”
Badrol hanya diam.
“Kalau cinta memang bukan soal memiliki, kenapa Tuhan selalu ingin
mengambil orang yang dicintainya agar ia bisa memiliki orang itu?!”
Badrol tersentak mendengar kalimat kakaknya itu. Matanya membesar tak
menyangka Badriah akan mengatakan hal seperti itu.
“Badrol! Jawab aku!”
“Itu... itu karena...” lidah Badrol tiba-tiba keluh.
“Kenapa Tuhan tak mau memberikan kesempatan untuk hidup lagi! Seakan-akan
Tuhan sangat ingin memiliki orang yang Ia cintai! Kenapa?!!” Badriah mulai menangis. "Badrol, kamu tahu bahwa aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan Omeng tapi mengapa Omeng pergi? membiarkan aku merasakan sakitku sendirian? Kenapa Badrol??!!"
Badrol tak tahu harus mengatakan apa disaat Badriah terpuruk seperti.
Badrol tak tahu harus mengatakan apa disaat Badriah terpuruk seperti.
Seketika Badriah berdiri dari kusri roda dan menghamburkan segala jenis
perabot di dalam kamar. Ia memecahkan setiap guci yang ada. Melepas sprei yang
terpasang di tempat tidurnya. Menjatuhkan tiang infusnya, menginjak-nginjak
kursi rodanya, dan memukul dirinya sendiri.
Badrol tak tahu harus apa, ia segera keluar kamar dan memanggil Dokter.
Badriah, penyakit Badriah kambuh lagi. Badrol sangat khawatir akan kakaknya itu.
***
Badriah melompat dari tempat tidurnya, berlari keluar kamar tanpa peduli infus yang terpasang di tangannya. Badriah berlari sekencang mungkin menjauhi Dokter Farid. Badriah naik ke tangga darurat sampai lantai paling atas gedung. Matanya kagum melihat pemandangan dari atas sini. serasa otaknya tiba-tiba segar dan tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan wajah yang pucat ia berteriak sekeras mungkin,
“OMENGGG!!!! JANGAN BIARKAN AKU PERGI JAUH DARI KAMU!!!! AKU SAYANG
KAMU!!!”
Badriah memegangi kepalanya yang mulai pusing. Ia tertatih menuju neon
box besar yang terpasang dipinggir atas gedung, tertuliskan “Rumah Sakit Jiwa
Kirana”.
Badriah menunduk. Menatap jalanan didepan rumah sakit yang dipenuhi
dengan mobil ambulance. Badriah
tertawa mengingat mobil itulah yang mengantarnya sesaat setelah kecelakaan itu.
“Badriah!”
Badriah menoleh. Ia melihat Dokter Farid, beberapa suster dan Badrol
sedang berjalan mendekatinya. Badriah menggelengkan kepalanya, “Jangan
mendekat!”
“Kak! Kakak harus kembali ke kamar dan minum obat!”
“TIDAK AKAN!” teriak Badriah.
“Badriah, kau harus yakin, kau akan sembuh. Jangan khawatirkan hal lain,
kau pasti akan sembuh! Ayo kembali dan jangan melakukan hal bodoh!” Ucap Dokter
Farid.
Badriah tertawa keras semenit kemudian menangis tak karuan.
“Badrol! Kamu jahat! Kamu bilang, kesempatan untuk hidup lagi tak akan
kembali! Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu? Padahal aku sangat ingin
bertemu dengan Omeng! Aku tidak akan kemana-mana sebelum aku bertemu Omeng!”
Ucap Badriah sambil mundur beberapa langkah mendekati sudut pondasi bangunan
yang berlantai empat itu.
“Kak! Kau harus menerima kenyataan bahwa Omeng sudah pergi! Sekarang aku
tahu, kenapa tuhan memanggil Omeng! Karena Tuhan tahu kalau cinta kalian berdua
sangat kuat, Ia ingin mengujinya! Dan Tuhan juga tahu kakak akan baik-baik saja
tanpa Omeng!”
Badriah menggelengkan kepala. “Badrol, aku rindu dengan Omeng. Aku ingin
bertemu dengan dia. Sekarang aku tahu bagaimana caranya agar bertemu dia! Ku mohon biarkan aku!!!”
Beberapa langkah lagi Badrol akan berdiri disamping Badriah, dengan pelan
ia melangkah sedikit demi sedikit. “Tapi kak, Kakak harus sembuh!”
Badriah menggelengkan kepalanya. “Tidak Badrol, aku tidak mau.... Badrol..
mungkin Tuhan juga tahu kau akan baik-baik saja tanpa kakakmu ini.”
“Apa maksud kakak?”
Seketika Badriah melompat dari gedung itu dengan air mata di pipinya,
kemudian ia merasa dunia berubah menjadi gelap. Hanya teriakan Badrol dan
Dokter Farid yang sempat ia dengar.
Tak ada yang lain,
“Badrol, aku sangat ingin bertemu dengan Omeng.”
***
12 Mei 2014
"Badrol?" Panggil Badriah.
Badrol yang saat itu tertidur dipinggir tempat tidur Badriah terbangun. Badriah mengelus lembut tangan adiknya itu.
"Kak Badriah? Kenapa kakak terbangun? kakak mimpi buruk lagi?" Tanya Badrol.
"Badrol... kakak mimpi menjadi gila akibat kehilangan Omeng. Tolong, beritahukan kepada Dokter Farid, aku mau operasi itu lancar. aku tidak mau kalau Omeng meninggal!"
Badrol tersenyum dengan matanya yang sanyup-sanyup. "Doakan saja kak, Dokter pasti akan melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Sekarang kakak tidur, besok operasi Kak Omeng akan dimulai jam 8 pagi."
Badriah tersenyum, mencoba kembali menutup matanya. Namun ia masih teringat hari itu, hari dimana Ia ingin pulang ke rumah orang tuanya di Sinjai. Ia masih ingat jelas kecelakaan yang menimpanya. Kecelakaan yang terjadi pada malam hari saat hujan turun dengan mobil berlaju tinggi. Badriah, badrol dan Omeng yang saat itu sedang mendengarkan lagu kesukaan Badriah, Adele – One and Only.
"Badrol?" Panggil Badriah.
Badrol yang saat itu tertidur dipinggir tempat tidur Badriah terbangun. Badriah mengelus lembut tangan adiknya itu.
"Kak Badriah? Kenapa kakak terbangun? kakak mimpi buruk lagi?" Tanya Badrol.
"Badrol... kakak mimpi menjadi gila akibat kehilangan Omeng. Tolong, beritahukan kepada Dokter Farid, aku mau operasi itu lancar. aku tidak mau kalau Omeng meninggal!"
Badrol tersenyum dengan matanya yang sanyup-sanyup. "Doakan saja kak, Dokter pasti akan melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Sekarang kakak tidur, besok operasi Kak Omeng akan dimulai jam 8 pagi."
Badriah tersenyum, mencoba kembali menutup matanya. Namun ia masih teringat hari itu, hari dimana Ia ingin pulang ke rumah orang tuanya di Sinjai. Ia masih ingat jelas kecelakaan yang menimpanya. Kecelakaan yang terjadi pada malam hari saat hujan turun dengan mobil berlaju tinggi. Badriah, badrol dan Omeng yang saat itu sedang mendengarkan lagu kesukaan Badriah, Adele – One and Only.
“Cinta itu memang bukan soal memiliki. Tapi soal keyakinan dan
kepercayaan. Saling yakin dan percaya akan selalu ada disegala keadaan.
Karena cinta itu bukan dari apa yang fisikmu telah berikan kepada dia,
tapi soal apa yang telah kau ikhlaskan untuk kebahagiaannya.”
-Windah Dwi Nuraini M-
Special
Thank’s for
Terima
kasih kepada Farid W. Kardbri yang telah memberikan izin
untuk memakai nama dari ketiga kucingnya,
Omeng, Badriah dan Badrol :3
Aaakkkkk xD Sugoiiii :v
BalasHapusSenyum2 sendirika bacai :3