Hai
Ah,
harusnya bukan kata “hai”, tapi “Maaf”
Teruntuk lelaki yang telah berjuang,
namun tenggelam akan rasa,
Maaf.
Mungkin memang aku salah, mungkin
benar kaulah yang paling berjuang. Tapi rasa tetap rasa, biarpun aku
menyuruhnya berubah, ia takkan goyah. Bukan salahmu, bukan salah waktu, tapi
ini urusan hati.
Kamu selalu bilang, aku terlalu
kekanak-kanakan. Kamu juga pernah bilang, tidak semua orang bisa mengerti
sifatku maka aku tidak boleh childish didepan mereka. Kamu mengaku kalau kamu
paling mengerti aku, tapi aku kalah karena tidak bisa mengerti kamu. Aku memang
seperti ini, kadang cerewet, kadang ceria, kadang diam, bahkan kadang menangis
untuk hal yang tidak penting. Tapi itulah yang paling sulit aku pahami, mengapa
kamu tetap kokoh dengan perasaanmu itu?
Maaf,
Aku memang perempuan biasa, tapi
aku mencoba bertahan pada satu hati. jangan menyuruhku untuk memilih antara
kamu dengan dia. Kalian berbeda, kalian bukan pilihan.
Maaf,
Atas semua perjuangan yang telah
kamu lakukan, atas semua waktu yang terbuang karena mengurusiku, atas semua
rasa sakit yang masih kau peluk erta-erat, atas beban-beban yang tertimpa
diatas hatimu, Maaf.
Tak ada yang paling penting
disela-sela kalimatku selain kata maaf.
Perasaanku akan tetap sama bang,
jangan buat aku menangis karena kamu menganggap aku tidak melihatmu. Aku melihatmu!
Hanya saja hati ini telah dirangkul oleh orang lain, dan aku harus menjaga
kepercayaannya. Aku tidak perlu menjelaskan seberapa besar aku menginginkan
dia, jelas kau tahu sedang hati ini telah dibawa pergi olehnya.
Maka aku ingin kamu tahu,
tataplah aku sebagai adikmu, bukan sebagai lawan jenismu...
Teruntuk lelaki yang telah berjuang.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar