Lensa Tua dengan Potret yang Berbeda
Seseorang
menegakkan kakinya. Kedua sandal di kakinya melekat seakan tak mau lepas. Ia
terus berjalan. Ke utara, ah ternyata bukan. Ke selatan, ah itu juga bukan. Ia
jalan tanpa arah. Tanpa tujuan.
Lalu ku
perhatikan kamera yang menggantung di lehernya. Sekilas cahaya berwarna-warni
dari benda digital itu membuat mataku silau. Aku menunduk ke dadaku, ada kamera
yang juga menggantung seakan meminta untuk digunakan. Ah, aku baru pulang dari hobiku menjepret-jepret. apakah aku harus mengikutinya?
Aku penasaran
tapi! Entah apa yang membuatku penasaran!
Ah! Sebelum
langkahnya benar-benar jauh, aku putuskan untuk mengikutinya. Aku melangkah
mengikuti langkah kakinya. Kakiku melewati jalan yang penuh debu. Dengan frame pepohonan. Ah, itu bukan pepohonan. Tidak ada daunnya,
hanya batang kayu yang berdiri tegak.
Memperlihatkan rantingnya yang gundul.
Kembali ku alihkan pandanganku.
Seseorang tadi, yang membuat langkah ini tidak ingin berhenti begitu saja tanpa
tahu apa yang ingin ia lakukan. Tapi tunggu dulu, ia tidak hanya sekadar jalan.
Ia juga memerhatikan, mendengarkan dan merasakan sekitarnya.
“Ah, panas!”
Desahnya pelan. Itu yang dapat ku
tangkap dari telingaku yang berjarak lima meter dibelakangnya. Tiba-tiba
langkahnya berhenti dan mengusap jidatnya yang penuh keringat. Ia menggelengkan
kepalanya sebentar, lalu kembali berjalan.
Sekilas, aku melihat wajahnya telah
dipenuhi garis-garis wajah. Meskipun sekilas, tapi tampak jelas beberapa helai
rambut bagian depannya telah memutih. Meskipun bibirnya gemetar untuk
mengucapkan satu kata tadi itu, namun langkahnya tak gentar. Malah terus
berjalan ke depan. Tanpa ingin melihat kebelakang.
Setiap kendaraan yang tak jarang
selalu mendahului langkah kami tak ia hiraukan. Mesipun ban besarnya dan lubang
panjang dibawah mobil itu selalu menitipkan debu dan asap. Selalu, saat telah
berpapasan dengan kami.
Beberapa menit kemudian, ah bukan
beberapa menit. Mungkin hampir se-jam kami berjalan. Tapi bukan berjalan
bersama! Aku mengikutinya. Kami sampai pada sebuah taman kecil. Taman yang
mungkin didalamnya hanya ada beberapa pohon, bunga yang mekar, dan juga dua
kursi panjang. Ia duduk disana, lalu mulai mengangkat kameranya. Tepat didepan
matanya.
Ku perhatikan dari jauh, beberapa
kali ia menekan salah tombol di kameranya. Ku ikuti arah lensa kamera itu
berkelana. Tidak ada yang special. Hanya beberapa pohon di sana sebagai subjek.
Tapi, tunggu dulu. Ada hal yang terasa berbeda. Ada hal yang membuat hatiku
gundah. Seperti ingin berceloteh akan suatu hal. Tentang sebuah kelestarian.
Aku mengambil kamera yang tergantung
di dadaku. Ku lihat semua gambar yang ku ambil hari ini. Astaga, sadar tidak
sadarkah aku saat memotret semua gambar ini? Semuanya hanya bangunan tinggi
menjulang. Tak ada yang bewarna hijau. Tak ada yang menyejukkan mata. Tak ada
yang menenangkan batin.
Aku mengangkat kepalaku. Ternyata,
saat itu juga lelaki tua itu sedang tersenyum kepadaku. Lalu dengan langkah pelan
ia mendekatiku. Menepuk pundakku pelan.
“Kau terlahir di zaman modern. Kau
terlahir di tengah-tengah bangunan yang menutupi indahnya langit sore. Kau
pemuda yang hebat. Eh, Zamanmu juga memang hebat. Zamannya canggih. Oh Iya,
Potretlah pemandangan disini. Walaupun hanya satu. Kau tidak akan menemukan
pemandangan seperti ini dikota sana.”
Aku hanya tersenyum. Ia menepuk
pundakku lagi, namun dengan tiga tepukan. Lalu ia berlalu. Ku kira akan pulang,
tapi ternyata ke taman bagian utara. Tidak jauh. Aku memalingkan kepalaku,
menatapnya. Eh, ternyata ia masih sempat berbalik sekali lagi, dan berkata;
“Tapi ketahuilah, Zamanmu tidak akan
seperti ini jika tidak ada pengorbanan. Dan kau tahu apa yang telah dikorbankan?
Kelestarian hutanmu. Nyawamu untuk dapat bertahan hidup lebih lama.” Ia
tersenyum singkat.
Aku terpaku. Udara yang melewati
beberapa pohon terlebih dahulu sebelum sampai pada leherku seakan berbisik.
“hanya suasana seperti ini yang dapat menyelamatkan banyak orang.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar