Aku
berlari sekuat tenaga, mencoba mencari nafas baru untuk hidup. Namun tak ku
temukan! Nafasku terengah-engah, aku berhenti dan mengatur setiap udara yang
masuk dalam hidungku, namun terasa sesak!
Aku
menyeka air mata yang terus jatuh dalam langkah cepat ini. Aku ingin teriak,
semua tenaga telahku kumpulkan, aku ingin melampiaskan semua kekesalan di dalam
hati ini! Ku percepat langkahku, aku berlari sekuat tenaga! Sebuket mawar mewar
yang ku genggam erat mulai berjatuhan. Aku tak peduli!
Terus
berlari… berlari…
Aku
sakit. Aku terpuruk. Air mataku terjatuh. Karena kamu. Hanya kamu. Namun aku
rindu, oleh sentuhan lembut jemari kecilmu.
***
“Pagi
Mal!”
Ah,
sudah ku duga. Baru di depan pintu, namun sapaan itu sudah nyaring terdengar ke
pojok-pojok ruang kelas ini. Senyumnya merekah, ah dia sangat cantik!
“Pagi
juga Jani.” Balasku sambil berjalan masuk ke dalam kelas.
Jani
masih tersenyum. Benar kan? Dia sangat cantik. Tapi itu belum seberapa. Dia
akan lebih cantik ketika senyumnya lebih mengembang dari ini! Aku yakin!
Sesudah
itu, kami akan bersikap biasa. Yah, kami tidak pernah mengumbar kemesraan di sekolah
apalagi di dalam kelas. Meskipun itu dalam keadaan yang sangat tepat!
“Mal,
ada yang minta nomor handphone lu tuh!”
Aku
lalu berbalik dari pandangan Jani. Satria, dia teman baikku. Selalu datang
tiba-tiba, suka mencampuri urusan orang lain, dan bla bla bla. Tapi sebenarnya
dia sangat baik, dia tahu perjalanan cintaku selama di sekolah ini. Dia juga
tahu, siapa gadis yang pernah suka padaku.
“Ganggu
aja lu.”
Satria
menyenggol lenganku, sedikit sakit. Tapi itu biasa dalam persahabatan antar
lelalki.
“Yeee….”
Satria mencibir bibirnya. itu yang selalu membuatku ilfill ke dia!
“Kenapa
sih?”
“Lu
gak denger? Ada cewe yang minta nomor handphone lu!” Satria meningkatkan volume
suaranya. Apa dia tidak tahu? Ada Jani disana, dan itu pasti akan membuat
hatinya kesal kalau ia mendengarnya “Gue kasih dia atau tidak?”
Raut
wajahnya seperti cemburu. Haha dia memang cemburu setiap ada gadis yang meminta
nomor handphonenku di dia.
“Janganlah!
Lu pikir gue jomblo apa!”
“Dia
cantik loh! Anak kelas X 2. Beh… body-nya juga bagus! Belum lagi sua--“
Segera
ku tutup mulutnya yang mulai merayu. Gila! Memangnya aku penggila cewek? Tidak
ada yang bisa gantikan Jani di hatiku. Sekalipun dia cantik, baik, kaya, atau
apalah.
“Bodoh
banget sih lu!” Ucapnya setelah ku lepas tanganku dari mulutnya. Menjijikkan!
“Apanya
yang bodoh? Lu aja tuh yang mata keranjang!”
“Eh
denger yah, kalau gue ingat-ingat sudah banyak banget cewe cantik yang demen
sama lu! Eh tapi lu malah tetap bertahan sama cewe yang satu itu! Padahal dia
mah lewat!” Satria menunjuk Jani dengan dagunya.
Hey,
aku tidak suka kamu berkata seperti itu!
“Eh,
lu ngomong apa?” terlihat bercanda, aku menyiku perutnya yang gendut. Dia
sedikit merintih, baru akhirnya ku lepaskan.
Satria
mengusap perutnya. Sakit? Siapa suruh mengatai Jani-ku. Dia lebih cantik di
mataku ketimbang gadis lainnya. Ada hal yang berbeda di dalam dirinya. Ada
suatu hal yang membuatku tak jenuh menatapnya. Jangan tanya apa, aku tidak
tahu. Tapi aku yakin itu cinta. Cinta yang sangat dalam.
“gue
sudah cinta banget sama Jani Sat, gue sudah tidak peduli cewe lain. Dan gue
sudah berjanji tidak akan menyakitinya. Sekalipun gue yang harus tersakiti.”
Aku mengucapkannya dengan yakin sambil menatap Jani yang sedang bercerita
bersama teman-temannya. Dan aku bisa merasakan, Satria menatapku dan mencoba
mencerna kata-kataku tadi.
Tak
lama, Jani dan teman-temannya berjalan keluar kelas. Sorot mata Jani terlihat
sedih, galau, dan semacam telah mendapat kabar buruk. Salah satu temannya
mengelus punggung Jani dengan lembut. Dia kenapa?
***
Tak
ada yang menarik, aku terbangun karena suara alarm yang begitu nyaring, dan
cahaya kecil mulai menyilaukan mataku lewat cela-cela jendela yang tak
tertutupi oleh tirai jendela.
Seperti
biasa, aku lalu mandi, memakai baju seragam sekolah, sarapan, dan setelah itu
semua telah ku lakukan, sadar atau tidak aku sudah sampai di sekolah. Yah
tempat mengejar ilmu, namun bagiku tempat menuai cerita indah tentang
persahabatan dan tentunya tentang manis pahitnya CINTA.
Ah,
tapi aku lupa. Hari ini hari minggu. Tak ada kegiatan yang diwajibkan. Apa
lagi? Aku akan ke rumah Jani. Akhir-akhir ini tatapannya sendu, raut wajahnya
sedih, semangatnya tak terpancarkan. Aku hanya ingin memastikan ia baik-baik
saja.
Dia pernah
bilang ia sangat suka dengan puisi-puisi romantis. Apakah aku harus
membuatkannya satu? Yah, aku harus
membuatnya.
Sebuket
mawar merah telah berada di genggamanku, tak lupa, secarik kertas berisikan
luapan hatiku tentangnya, puisi romantic. Aku menghela nafas, memberanikan diri
untuk mengetuk pintu rumahnya. Ah, aku siap.
“Tuk
tuk tuk”
Tak
ada jawaban. Aku menoleh ke kanan lalu ke kiri, tak ada orang. Juga seperti tak
ada orang didalamnya. Ah, aku ingat! Ada sebuah taman kecil di belakang
rumahnya.
Aku
melangkah dengan pelan, semakin dekat dengan taman itu, aku bisa mendnegar
samar-samar suara Jani. Namun tak sendiri, teman-temannya juga ada. Aku tidak
menampakkan diri. Aku bersembunyi di salah satu dinding rumahnya.
“Jadi lu maunya gimana Jani?”
“Kalau gue sih terserah lu aja.”
“soalnya lu yang akan jalani.”
“Perjelas dong.”
Aku
bisa mendengar itu. Farah, Nana dan Ririn terus bergantian bicara dan bertanya
pada Jani. Jani mengendikkan bahunya. Dari samping, wajahnya sangat sedih. Ia
lalu mengangkat kepalanya
“gue mau putus. Tapi gue tidak tahu
bagaimana dan apa alasan gue mutusin Kemal. gue bingung! Kemal juga sudah
sangat baik sama gue! Gue gak tega.” “Jelasnya,
gue sudah tidak tahan membohongi perasaan gue.”
Deg!.
Darah yang mengalir dalam tubuhku seketika beku. Nafasku terasa sesak. Dadaku
sakit. Aku merasa sangat dingin. Kepalaku berputar-putar. Telingaku tak sanggup
lagi untuk mendengar.
Segera
aku berlari dari sana. Aku menggenggam sebuket mawar itu dengan kuat sehingga
buku-buku jariku memutih. Aku merasa tak berarti apa-apa. Seketika aku merasa
tidak pernah dicintai dengan tulus. Meskipun Satria mengatakan aku sosok lelaki
yang dikejar-kejar para gadis di sekolah. Tapi tidak dengan Jani!!!
Sakit,
hanya sakit!
Aku
berlari sekuat tenaga, mencoba mencari nafas baru untuk hidup. Namun tak ku
temukan! Nafasku terengah-engah, aku berhenti dan mengatur setiap udara yang
masuk dalam hidungku, namun terasa sesak!
Aku
menyeka air mata yang terus jatuh dalam langkah cepat ini. Aku ingin teriak,
sekua tenaga aku telah mengumpulkannya, ku percepat langkahku, aku berlari
sekuat tenaga! Sebuket mawar mewar yang ku genggam erat mulai berjatuhan. Aku
tak peduli!
Terus
berlari… berlari…
Aku
sakit. Aku terpuruk. Karena kamu. Namun aku rindu, oleh sentuhan lembut jemari
kecilmu.
***
Kau menoleh sekali lagi,
bibirmu bergetar. Tak bersuara, namun terlihat, kau mengatakan kata “Maaf”.
Aku menatap langit, bertanya
pada awan, teriak pada matahari. Akankah ada jawabnya? Burung-burung pun
berkicau, namun yang terdengar adalah namamu.
***
“Aku dapat merasakan
hangatnya musim panas..
Namun tak sehangat
pelukmu, kasih..
Aku melihat indahnya
musim gugur…
Namun aku melihatmu
lebih indah, sayang…
Aku tersenyum,
Aku mulai merasa sejuk
dengan musim dingin…
Tapi ketahuilah
tatapanmu lebih sejuk, kasih…
Dan aku mencoba
menggenggammu lebih erat..
Aku ingin memilikimu
disetiap waktu yang ada…
Ternyata aku sangat mencintaimu…
Hah! Itu sudah membuatku
bahagia…
Aku tersenyum lagi,
Jani, aku mencintaimu
dalam setiap musim yang ada”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar